Koalisi Masyarakat Sipil Sebut UU Desa No 6/2014 Belum Sentuh Pembangun Manusia

Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Membangun Desa (KMSUMD) menemui pejabat Kemendagri di Jakarta, Rabu (24/7/2019). Dalam kesempatan tersebut, KMSUMD menyatakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa belum menyentuh pembangunan manusia.

Salah satu perwakilan KMSUMD Manambus Pasaribu, kepada www.MartabeSumut.com menjelaskan, KMSUMD terdiri dari beberapa elemen lembaga. Diantaranya: Kalyanamita, IDRAP, CD Bethesda, GT Kondoran, BAKUMSU, KSPPM, BITRA, PETRASA, YPDK, YAK, YAPIDI dan JKLPK Indonesia. Menurut Manambus, memasuki tahun kelima sejak disahkan. Undang-undang Desa, seharusnya bisa memberikan pengakuan/kewenangan desa untuk menyelenggarakan pemerintahan serta mengelola sumber daya keuangan/asset desa sehingga desa menjadi mandiri dan sejahtera. Namun faktanya, terang Manambus, hasil riset KMSUMD di sejumlah daerah menemukan banyak kendala dalam implementasi UU Desa. “Masalah pertama, masyarakat belum mengetahui secara utuh substansasi UU No. 6/2014 karena minimnya sosialisasi yang dilakukan secara regular. Minimnya sosialisasi disebabkan belum ada dana dialokasikan di APBDesa dan tidak ada petunjuk dari pemerintah kabupaten,” ucap Manmbus.

Perencanaan Didominasi Pembangunan Fisik

Kedua, lanjutnya lagi, alokasi perencanaan dan penggunaan anggaran pembangunan di desa masih didominasi pembangunan fisik. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan warga, pemerintah desa bahkan tim penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).  Ketiga, adanya “predator desa” berkedok oknum wartawan, LSM hingga organisasi kemasyarakatan yang memalak aparat desa. “Modus yang sering digunakan adalah mereka menawarkan jasa pendampingan struktural kepada kepala desa. Selain itu, pungutan liar juga dilakukan oleh oknum yudisial dengan menawarkan program bimbingan teknis atau Bimtek,” ungkap Manambus.  Sedangkan kendala keempat disebutnya menyangkut prencanaan pembangunan desa yang belum memiliki perspektif persamaan gender. Padahal dalam UU Desa Pasal 3 menyatakan asas dari pelaksanaan UU Desa adalah partisipasi, kesetaraan dan pemberdayaan. “Sehingga seharusnya perempuan punya kesempata mendapatkan akses pembangunan. Bebas turut berpartisipasi, melakukan kontrol implementasi pembangunan dan mendapatkan manfaat dari pembangunan desa. Tapi kenyataannya partisipasi perempuan hanya untuk pemenuhan formalitas seperti kuota jumlah perempuan dalam rapat tanpa mengakomodir ide dan kebutuhan mereka dalam pembangunan desa,” ucapnya.

Disharmonisasi Peraturan

Kelima, Manambus menilai adanya disharmonisasi peraturan pada tingkat teknis. Misalnya antara Permendesa PDTT No. 16/2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 yang fokus untuk pembangunan/ pemberdayaan masyarakat dengan Permendagri No. 20/2018 tentang Pengelolaan Dana Desa yang memasukkan program pembangunan fisik dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Selain itu, KMSUMD melihat lampiran Permendagri No. 20/2018 tentang Kode Rekening Kegiatan telah membatasi ide-ide kreatif desa karena program yang dihasilkan dalam musyawarah desa tidak bisa dieksekusi akibat tidak tercantum dalam Kode Rekening Kegiatan. Terakhir, Manambus membeberkan banyaknya temuan  RPJMDesa yang copy paste. Termasuk proyek titipan pengusaha melalui pengambil kebijakan di tingkat kabupaten dan pergantian perangkat desa setelah pemilihan kepala desa (pilkades).  “Berdasarkan temuan-temuan di atas, kami telah melakukan audiensi ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan tujuan meminta pemerintah dan jajarannya untuk segera menindaklanjuti hasil riset tersebut,” tutup Manambus. (MS/DEKS)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here