Ada sekira 7 Miliar populasi manusia mendiami bumi saat ini. Tapi tak 1 pun yang bisa merencanakan atau pernah meminta agar dilahirkan cantik, menarik, berkulit hitam hingga memiliki agama/etnis tertentu. Semua unsur tersebut ‘nongol’ hakiki ke dunia sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa dan tak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Saya tergelitik mengulas prokontra Miss World 2013 di rubrik Garis Bawah ini karena pada tanggal 8-28 September 2013 ajang bertaraf internasional ke-63 itu akan digelar di Bali, Jakarta dan Bogor. Tahun 2013 Indonesia mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah penyelenggara untuk pertama kalinya. Namun belum lagi publik melihat apa yang ditampilkan dan bagaimana totalitas bentuk kegiatan, entah kenapa saya sudah merasa geli mengetahui ancaman perang dan pembubaran kegiatan yang dilontarkan 3 Ormas Islam, yang menurut saya nama lembaganya tidak terlalu menarik dipublikasikan karena seluruh rakyat Indonesia sudah kenal sepak terjangnya. Sementara sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara institusi telah menolak kegiatan Miss World di Indonesia, saya pandang sebagai keputusan yang pantas dihormati. Walau terlihat ada sebagian pengurus pusat MUI yang secara pribadi mendukung agenda Miss World 2013. Toh, sikap tegas MUI melalui dalil-dalil ke-Islam-an yang dijadikan dasar pengambilan keputusan, itu belum pernah mengeluarkan ancaman perang apalagi pembubaran kegiatan. MUI justru menempatkan institusi sebagai lembaga ke-umat-an yang tanggap memberi penilaian namun tidak memposisikan diri sebagai hakim jalanan yang merasa benar sendiri, seperti 3 Ormas Islam tersebut.
Apa Ada yang Salah dengan Kecantikan?
Apa ada yang salah dengan kecantikan ? Bisa Anda tunjukkan apa-apa yang dilanggar dalam hukum positif atau norma-norma terkait ajang Miss World ? Kira-kira begitulah 2 pertanyaan kritis yang dilontarkan intelektual/budayawan Betawi Ridwan Saidi kepada seorang juru bicara salah satu ormas Islam, dalam satu diskusi yang ditaja TV One, belum lama ini. Lalu apa jawaban Ormas Islam ini ? Juru bicaranya justru tampak sangat gugup dengan lantunan kalimat-kalimat kabur, mengambang dan mengandalkan kata-kata bernuansa ‘pokoknya’. “Miss World melanggar kaidah Islam karena mempertontonkan aurat, melanggar nilai-nilai norma dan tidak sesuai budaya ketimuran,” tepisnya sengit. Makanya sejak awal ancaman 3 Ormas Islam itu saya istilahkan geli-geli lucu. Sebab, selain Mabes Polri telah mengeluarkan izin semenjak dini, sejauh ini ke-3 lembaga Ormas Islam belum berhasil menemukan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan atau memunculkan alasan masuk akal untuk menolak agenda Miss World di Indonesia. Dalam benak saya, Mabes Polri bukanlah lembaga murahan dan picisan yang akan dengan mudah mengeluarkan izin kegiatan kalau agenda Miss World dinilai melanggar aturan, menyimpang dari norma-norma kesusilaan, atau menemukan fakta bahwa memang ada yang salah dengan kecantikan pribadi manusia saat dieksplorasi melalui kegiatan profesional. Apa ada yang salah dengan kecantikan ? Apa negara ini milik Anda sehingga dengan mudah mengeluarkan ancaman perang dan pembubaran kegiatan warga negara lainnya yang juga berhak ? Besar kemungkinan 2 pertanyaan ini akan selalu dijawab mengambang oleh ‘mereka-mereka’ karena memang doyan dan ketagihan beraksi memakai metode gertak sambal belacan busuk. Kenapa saya sebut metode gertak sambal belacan busuk ? Tidak lain karena aksi ‘mereka-mereka’ yang kerap memunculkan kekerasan verbal di hadapan publik melalui ancaman-ancaman. Lalu mempertontonkan keberanian hanya saat beramai-ramai sembari membawa kayu, golok, rusak sana, rusak sini hingga bentuk anarkis lain. Saya pun terkenang kata-kata bijak mantan Gubernur Riau H Saleh Djasit, tatkala mewawancarainya secara khusus di Pekanbaru pada tahun 2002. “Mereka berunjukrasa atas nama kebaikan umat manusia tapi merusak dan menghancurkan sambil membawa-bawa nama Tuhan. Kenapa nama Tuhan dibawa-bawa ya ? Kita ini cuma manusia yang tidak lebih bersih dan tidak lebih besar dari biji pasir di hadapan Tuhan,” kata H Saleh Djasit, kala itu.
Anugerah Kecantikan Manusia Ada 3 Unsur
Terlepas dari prokontra berkembang khususnya kegelisahan ‘ecek-ecek’ (palsu) dari segelintir kelompok yang lantang mengatasnamakan ‘kesucian diri’, saya ingin menggarisbawahi bahwa anugerah hakiki yang dimiliki manusia (perempuan dan laki-laki) terpancar dari kesatuan 3 balutan utuh. Saya pun perlu menginformasikan kalau sedikitpun tidak punya kepentingan dengan Panitia Miss World saat menulis garis bawah ini, tapi sekadar rasa bangga akan kemunculan sosok perempuan-perempuan Indonesia yang dipenuhi aura kecantikan fisik, kecantikan perilaku dan kecantikan intelektual. Tiga unsur asasi inilah yang dalam kalimat pembuka saya katakan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Muncul sejak dilahirkan sebagai bayi, mengalir bertumbuh saat kanak-kanak/remaja serta berproses matang dalam kedewasaan dan kerentaan usia sampai akhirnya menutup mata kembali kepadaNya. Menyinggung persoalan pengakuan terhadap fisik orang yang cantik, kepintaran intelektual hingga perilaku cerdas mempesona, memang akhirnya terpulang pada kejujuran diri masing-masing manusia. Bisa saja diungkapkan terbuka dan mungkin pula tidak diakui bibir kendati hati telah membisikkan yang sebenarnya. Tapi siapapun orangnya, pastilah sulit mengingkari kebenaran bisikan hati karena 3 unsur kecantikan tersebut teramat indah diamati. Bahkan tidak ada 1 hukum atau aturan apapun di dunia ini yang sanggup mempertentangkan. Pertanyaan sederhananya sekarang: maukah Anda punya istri cantik, pintar dan berperilaku cerdas ? Lalu, salahkah seorang manusia mempertontonkan 3 anugerah hakiki kecantikannya kepada publik dalam satu pentas kecil semisal pesta kenduri tingkat RT ? Saat ini saya tidak tersenyum geli lagi melainkan tertawa terbahak-bahak. Maaf, bagi saya, hanya orang-orang munafik dan piciklah yang berani menyatakan tidak masalah mempunyai istri jelek, bodoh dan bersikap konyol dalam keseharian. Bukan apa-apa, jangankan mencari pacar atau istri, berkenalan dengan seorang asing saja kita sudah lebih dulu mengamati fisik, pemikiran dan perilakunya. Artinya, kalau tetap saja ada dalih pembenaran bahwa 3 unsur hakiki anugerah kecantikan lahiriah manusia bersifat relatif, maka mari kita sepakati menilainya melalui pendapat umum sesuai kompetensi rakyat jelata. Kita ambil contoh seorang perempuan yang merokok di tengah jalan/di dalam angkutan umum atau mengangkat kaki ketika sedang makan di restoran. Saya rasa tidak perlu kompetensi seorang Psikolog untuk menilai kecerdasan perilaku perempuan itu. Masyarakat awam pun akan dengan cepat menilai satu perilaku yang sangat tidak cantik di depan publik.
Waspadai Orang-Orang yang Seolah-olah
Mengacu kalimat saya di awal tadi, kecantikan fisik hakiki yang melekat pada diri seorang perempuan bukanlah sesuatu yang dapat direncanakan, bisa diminta, mudah direkayasa atau gampang diproses sesuai ‘kerjasama’ kedua orangtuanya. Melainkan terjadi begitu saja pasca-dokter mengeluarkan sang bayi dari rahim si ibu. Kendati teknologi di era kekinian sangat memungkinkan kecantikan manusia didisain sedemikian rupa, namun kecantikan permak hasil olah teknologi saya golongkan dalam tulisan ini sebagai bentuk semu dan seolah-olah belaka. Saya mau mengingatkan, anugerah kecantikan tidaklah bentuk fisik yang seolah-olah. Tapi bisa dilihat secara kasat mata bahkan dapat dirasakan hati yang paling dalam. Logikanya, bila seseorang sudah merasakan memiliki gift kecantikan, niscaya secara otomatis bibit, bebet dan bobot orangtuanya akan mendorong munculnya kecantikan intelektual maupun kecerdasan perilaku melalui proses panjang didikan keluarga. Sebab, belum tentu juga setiap orang yang dilahirkan berfisik cantik selalu diikuti kecantikan intelektual dan kecantikan perilaku.
Kecantikan semu dan seolah-olah merupakan hasil akhir dari satu keputusan perilaku/perbuatan seseorang. Contoh sederhana dapat dilihat ketika laki-laki atau perempuan dimake-up sehingga bekas jerawat bahkan bopeng kulit wajah tertutupi sementara. Hasil akhir inilah yang saya katakan semu/seolah-olah cantik di permukaan tapi segera luntur setelah make-up dibersihkan. Berangkat dari konsepsi sederhana ini, saya menggarisbawahi, sudah saatnya kita mewaspadai dan mulai jeli menyikapi gejolak yang ditimbulkan/dilakukan sekelompok orang mengatasnamakan rakyat, mengaku suci, menunggangi sikap fanatisme agama tertentu bahkan mengklaim diri beriman tinggi. Pasalnya, orang-orang seperti itulah yang sebenarnya masuk kategori tidak cantik tapi suka bergaya seolah-olah cantik, tidak pintar tapi tidak tahu diri dan seolah-olah memamerkan kepintaran, tidak fanatik beriman melainkan munafik serta tidak berkelakuan baik namun seolah-olah berbuat baik. Gelagat sikap semu dan seolah-olah tersebut juga sangat mudah untuk ditandai. Terlihat dari geliat mengambang/kabur dari diri seseorang/kelompok, merasa benar sendiri dan cenderung mudah membawa-bawa nilai yang sakral. Selanjutnya jangan heran bila aksi mengumbar ke publik akan getol dilakukan demi menggapai vested interest (kepentingan tersembunyi). Saat ini perilaku seolah-olah mengalir deras dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Mereka hadir pada semua tataran aktivitas, kehidupan hingga rutinitas pekerjaan. Dipraktikkan bebas dan lepas tanpa rasa malu apalagi mempedulikan akibat negatif yang ditimbulkan. Simak saja fakta empiris miris di lingkungan sekitar kita ; banyak sekali oknum pemerintah/pejabat/birokrat yang seolah-olah bekerja melayani rakyat tapi realitasnya menggerogoti uang rakyat, oknum anggota DPR/DPRD seolah-olah memperjuangkan aspirasi masyarakat namun kenyataannya mengutamakan kepentingan pribadi, oknum aparat hukum seolah-olah lantang berpendapat tentang keadilan tapi terbukti memperjualbelikan hukum. Tidak sedikit pula kalangan manusia yang teramat pandai bicara di bibir seolah-olah tahu 1 persoalan tertentu padahal sumbernya cuma ‘nguping’ dari orang lain lalu mengembangkan sedemikian rupa dengan bualan-bualan opini bohong. Dan lebih lucu lagi, marak orang bergaya seolah-olah wartawan yang melakukan tugas wawancara/meliput namun cuma nanya-nanya alias lihat-lihat doang. Bila contoh itu belum cukup, coba renungkan kasus sederhana berikut yang tanpa disadari sering kita praktikkan. Sebut saja menulis status fiktif di Facebook, BlackBerry Messenger hingga situs sosial tertentu, yang menerangkan kepada publik seolah-olah berada di luar daerah padahal tidak kemana-mana. Betapa satu contoh perilaku lucu, aneh dan menggelikan. Entah itu dianggap biasa dan sekadar permainan kata-kata, yang pasti sikap seolah-olah telah menyeruak deras tanpa batas-batas pada semua tataran aktivitas. Tidak terbeban mempertontonkan melainkan bangga melakukan pembohongan. Ironisnya lagi, masyarakat malah akrab menjadikannya sebagai proyek percontohan buruk. Mulai dari berlagak seolah-olah polisi/TNI tapi ternyata gadungan, menyaru seolah-olah petugas KPK namun cuma jati diri palsu, ada yang seolah-olah berpengalaman tapi dari 10 yang dikatakan sudah 11 bersalahan, kemudian seolah-olah wartawan yang menulis berita ternyata cuma copy paste/menjiplak dan banyak figur manusia seolah-olah lainnya berseliweran di depan mata kita yang tak mungkin terbilangkan namun sangat mudah di-identivikasi/dikenali perilakunya.
Nah, kembali kepada prokontra Miss World 2013 di Indonesia. Saya memastikan, beberapa kali mengikuti acara seleksi Miss World di layar kaca TV, anugerah kecantikan perempuan dari kacamata fisik, perilaku dan intelektual, bukanlah barang murahan yang masuk kategori seolah-olah. Tapi memiliki standard jelas melalui kompetensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Saya pun berani mengatakan ini karena kerap bisa menduga-duga calon pemenang berdasarkan penampilan ratusan peserta. Kualifikasi kemampuan menjawab pertanyaan dengan pengantar percakapan berbahasa Inggris, misalnya, mencerminkan kualitas diri perempuan, kepribadian sikap, kematangan jiwa, kecerdasan berfikir dan kecantikan performance secara utuh. Dalam artian, hanya orang seolah-olah dan suka berperilaku “onani” (baca: soor/syur sindiri) saja yang bakal mengingkari atau tidak mengakuinya. Itupun kalau tidak mau dikatakan, si munafik memakai topeng fanatik.
Akhirnya saya mau mengusulkan, panitia Miss World 2013 pantas memperhatikan gejolak berkembang dengan mengadopsi etika ketimuran bangsa. Memperhatikan norma-norma kesusilaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama manapun. Sedangkan kehadiran kelompok-kelompok penolak Miss World 2013 di Indonesia, merupakan satu dinamika wajar dalam sendi demokrasi kehidupan berbangsa bernegara. Namun patut digarisbawahi, penyaluran aspirasi apapun harusnya dilandasi argumentasi objektif yang bisa dipertanggungjawabkan. Dilakukan secara proporsional, terarah, terukur serta tanpa muatan ancaman yang mengedepankan pemaksaan kehendak apalagi anarkis bermuatan sikap ‘pokoknya’. Bila semua itu sudah dilakukan dengan bijak, maka bangsa ini akan terhindar dari kelompok-kelompok atau manusia-manusia berpredikat seolah-olah yang cenderung bangga mengibarkan bendera fanatik tapi justru munafik dan picik. Sekali lagi, kecantikan fisik manusia, khususnya perempuan, adalah anugerah hakiki dari Yang Maha Kuasa dan bukan penampilan seolah-olah. Pemiliknya tentulah sangat bangga mempertontonkan kepada publik dan publik pun akan senang menikmati sekaligus belajar dari anugerah yang dimiliki orang lain. Pertanyaan terakhir saya sekarang: Siapa sih yang tidak mau memiliki kecantikan, kepintaran dan perilaku menarik ? Siapa sih yang tidak mau berprestasi, dipuji dan diakui sesuai kompetensi 3 unsur kecantikannya ? Lalu, manusia jenis apa sih yang tidak mau mengakui keberadaan perempuan cantik, pintar dan berkepribadian menarik ? Menurut hemat saya di kalimat penutup ini, lagi-lagi, cuma manusia berkepribadian seolah-olah dan suka “onani” alias soor/syur sendiri saja yang bakal menjawab tidak atas 3 pertanyaan itu ..!