Bagikan Berita :

Life is not just how to get what we need from others but how to sharing with a sincerity of heart. One of hardest part of this life is deciding to share without any interest. Arti kalimat bijak itu kira-kira begini: hidup ini tidak hanya untuk menerima sesuatu dari orang lain tapi mampu memberi/berbagi dengan ketulusan hati. Salah satu yang teramat sulit dilakukan manusia saat ini adalah berbagi secara tulus tanpa taget kepentingan apapun.

Garis Bawah ini sudah pernah saya tuliskan tahun lalu. Kali ini kembali saya jadikan angle tulisan disebabkan kesakralan perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri yang tinggal hitungan jam. Tujuannya mengingatkan pentingnya kepedulian serta kesetiakawanan sosial. Bicara tentang hari besar keagamaan Muslim, tentulah satu hal yang jamak terlihat di permukaan adalah seruan-seruan moral kepada kalangan ekonomi kuat agar berbagi dengan sesama yang masih “kesepian ditengah-tengah keramaian” dalam bentuk infak, zakat atau sedekah. Kalau saat ini kita percaya bahwa ternyata ada orang kaya atau bahkan orang berkekurangan/pas-pasan mau berbagi karena unsur ketulusan, peduli, setia kawan hingga alasan solidaritas, maka adalah sesuatu yang sulit dipercaya bahwa tidak sedikit pula pejabat, anggota DPRD, aparat, birokrat maupun konglomerat lebih semangat “berbagi” karena dilandasi unsur subjektif. Arti subjektif di sini bermakna sikap yang cuma mau berbagi karena lebih dulu melihat latar belakang/status kekinian seseorang/kelompok yang akan diberi. Andai kita contohkan cuma sebatas teman tapi teman tersebut dianggap tidak memiliki jabatan, posisi atau kekuatan apa-apa yang bisa menguntungkan, bisa dipastikan si pejabat, anggota DPRD, aparat, birokrat maupun konglomerat tadi akan enggan berbagi. Inilah fakta miris yang kerap terlihat di tengah-tengah kehidupan kita. Rasa tulus memberi/berbagi terasa hilang ditelan jaman atau ibarat barang langka yang sulit diperoleh di pasaran. Badan publik, lembaga pemerintahan bahkan institusi sosial kemanusiaan bernama organisasi donor darah sekalipun punya ukuran harga subjektif sebelum memutuskan untuk berbagi.

Berangkat dari konsepsi di atas, saya ingin menghubungkan makna berbagi dengan 3 cermin perilaku mendasar manusia tatkala strata sosial hidupnya sudah masuk kategori kaya/berkecukupan. Pertama, ada yang kaya tapi hanya akan berbagi bila kepentingannya terakomodasi. Kedua, ada yang kaya tapi tidak bakal mau berbagi kalau belum dipuja, dipuji, disanjung hingga diagung-agungkan seperti Tuhan dengan cara-cara tertentu. Dan ketiga, ada pula yang kaya namun tak pernah memberi sebelum diminta secara halus maupun kasar. Tiga perilaku hidup sikap si kaya itu saya golongkan dalam tulisan ini jenis manusia yang suka “diamati”. Kendati fakta sikap ini cenderung berlaku umum bagi manusia di penjuru dunia, tapi secara normatif, sebenarnya tidak sedikit pula orang kaya yang enggan bersikap begitu. Mereka bahkan sangat bijaksana tatkala berbagi kasih dengan cara meminta agar namanya jangan diungkap ke permukaan alias no name (anonim). Kemudian ada pula yang sengaja merampok si kaya bak legenda Inggris Robin Hood, lalu membagi-bagikannya kepada masyarakat miskin di kawasan kumuh, panti asuhan dan panti jompo.

Orang Kaya Suka Diamati Saat Berbagi

Saya pun terkenang beberapa pengalaman pribadi terkait sosok-sosok orang kaya yang memang suka “diamati” saat berbagi. Saya pun menemukan sosok-sosok kaya yang hanya doyan berbagi melalui gelaran pesta-pesta kelompok tertentu bertujuan melakukan penggalangan dana atau biasa disebut lelang makanan/barang. Berkali-kali mencermati situasi seperti itu, orang-orang kaya yang ikut melelang dipastikan siap mengeluarkan uang berapapun asal saja pembawa acara lelang pintar memanas-manasi yang bersangkutan dengan menyebut-nyebut namanya di hadapan publik. Nah, saat semua mata sudah tertuju ke figur si kaya, entah kenapa saya cuma melihat kekuatan motivasi memberi itu muncul lantaran namanya dipuji, dipanggil dan diagung-agungkan bak dewa. Tidak ada landasan ketulusan, keikhlasan apalagi hati yang bersih saat memberi. Yang terlihat cuma sebatas sikap eksklusif belaka..!!! Pengalaman berikut saya saksikan ketika bekerja pada salah satu perguruan tinggi swasta di Medan sebagai Public Relations (Humas). Aktivitas saya sehari-hari adalah mendampingi Ketua Yayasan, yang nota bene “orang kaya besar” kata warga Sumut. Tapi ironisnya, saya justru tidak pernah bangga berada di sampingnya apalagi kagum pada sosok yang disebut-sebut kaya raya di Sumatera Utara. Bukan apa-apa, di hadapan orang-orang sekitar yang selalu membantu aktivitasnya, si Ketua Yayasan selalu senang menunjukkan kemampuan maksimal memberi bantuan apapun saat diminta pihak-pihak berkepentingan. Sementara orang-orang yang ada di sekitarnya sendiri selalu dibiarkan “kesepian di tengah-tengah keramaian“. Kalaupun dia memberi, tidak lebih dari nominal recehan yang sangat tidak masuk akal. Itupun melalui proses panjang ikut dinas ke luar daerah kurun waktu berhari-hari bahkan hitungan minggu. Orang-orang yang (selalu) ada di dekatnya tetap dalam posisi sapi perahan karena dianggap karyawan yang sudah digaji perusahaan. Padahal, gaji yang diberikan perusahaan juga masuk kategori uang recehan yang jumlahnya masih di bawah UMK/UMP tanpa pengormatan hak normatif tunjangan standard seperti medical, SPJ dinas luar kota, lembur dan lain sebagainya. Lagi-lagi saya mau mengatakan, kekuatan motivasi memberi yang melekat pada si Ketua Yayasan itu adalah wujud sikap bangga memberi saat “diamati” dan kemudian mempertontonkan secara demonstratif sikap eksklusif “dermawan murahan” terhadap orang-orang sekitarnya.

Fakta memberi karena suka “diamati” sering pula saya cermati melekat kental pada gaya pejabat, aparat, wakil rakyat, birokrat hingga konglomerat. Kita contohkan lagi ajang Pemilu Caleg, Pilkada dan Pilpres 2014 yang belakangan sudah terlaksana. Mayoritas Caleg, calon kepala daerah atau Capres cenderung tiba-tiba suka melakukan aksi sosial dengan cara memberi bantuan uang atau barang ke rumah ibadah seperti mesjid, gereja hingga lembaga kemanusiaan. Tapi siapa yang tidak tahu, semua aksi sosial tersebut tidak lebih dari kepentingan diri yang diharapkan terbalas secara kelembagaan. Kekuatan motivasinya tetap sama : suka diamati, kebanggaan sesaat dan vested interest (kepentingan tersembunyi).

Tiga Pertanyaan Menggeltik untuk Orang Kaya

Garis bawah ini pun ingin menggelitik orang-orang yang mengaku kaya atau disebut-sebut kaya dengan 3 pertanyaan sederhana. Pernahkah Anda berdiskusi dengan hati nurani sendiri sebelum berbagi ? Apakah kekuatan motivasi memberi dilandasi keikhlasan/ketulusan hati atau sebatas dilatarbelakangi 3 landasan perilaku di atas? Lalu, bagaimana kekuatan motivasi berbagi terhadap orang-orang sekitar Anda dan “orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian” di luar sana? Maaf, tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan keberadaan semua manusia dunia yang masuk kategori kaya dan berkelimpahan materi ekonomi. Tulisan ini juga tidak tertarik menggugat dari mana asal kekayaan atau bagaimana cara Anda memperlakukan gelimang harta yang dimiliki sekarang. Melainkan hanya mengungkap ironi miris yang kebetulan sering terjadi di sekeliling kita khususnya memasuki perayaan hari besar keagamaan. Saya menggarisbawahi, tidak ada 1 kesalahan apapun yang dilakukan bila manusia yang tergolong kaya mempedomani 3 cemin perilaku hidup yang saya beberkan di awal tadi. Saya juga mau mengatakan, perilaku tersebut sangat normatif, manusiawi dan merupakan hak mutlak masing-masing individu. Tapi melalui garis bawah ini saya ingin menggelitik, tatkala Anda baru mampu memberi sesuatu kepada orang lain/lembaga tertentu demi balasan setimpal yang Anda harapkan atau yakini akan diperoleh, berarti tidak ada perbuatan istimewa di sana. Semua orang bisa melakukannya termasuk si miskin sekalipun. Perliaku tersebut sama saja ibarat menghadiri undangan pernikahan yang bakal dibalas kembali oleh rekan yang Anda kunjungi. Tidak berbeda pula ketika Anda mengirimkan papan bunga ucapan selamat terhadap seorang relasi, yang suatu waktu akan dibalas lagi ketika Anda menggelar pesta tertentu. Hal senada bakal berlaku juga saat Anda mengajak rekan kantor/bisnis makan siang. Karena dilain waktu giliran rekan Anda yang akan mengajak makan siang bersama. Saya mau memastikan, Anda akan benar-benar kaya secara manusiawi bila 3 cermin gaya hidup yang saya ungkap di atas tidak meninggalkan kekuatan motivasi berbagi terhadap orang-orang sekitar Anda dan segudang orang-orang yang masih “kesepian di tengah-tengah keramaian“. Artinya, seseorang hanya terbukti kaya secara sah dan meyakinkan bila memiliki motivasi memberi dan berbagi terhadap orang-orang sekitar tanpa unsur tersembunyi. Merencanakan berbagi kepada “orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian” semisal fakir miskin, anak yatim piatu, orangtua jompo, anak jalanan, penderita penyakit menahun, narapidana di penjara, atau siapapun yang tidak dikenali latarbelakangnya. Mereka yang kaya itu tidak mengharap imbalan, tidak kenal yang akan dibantu dan sadar betul bahwa yang dibantu tidak bakal mampu membalas perbuatan serupa. Bagi saya, masih ada orang-orang kaya yang mau sembunyi-sembunyi melakukan hal-hal baik seperti gaya legenda Inggris Robin Hood. Dan kalau ada orang kaya menerapkan begitu tanpa embel-embel akomodasi kepentingan pribadi, bisnis, politik, ekonomi, Caleg, Pilkada, Pilpres, pengagungan nama atau jenis motivasi serupa lain, maka sebenarnya sosok-sosok tersebutlah yang pantas masuk kategori kaya harta dan kaya hati. Sebab, sekali lagi, memberi dan berbagi dengan hati bukan harus diamat-amati oleh siapapun. Bila saja memungkinkan, tangan kiri kita saja tidak perlu tahu saat tangan kanan memberi. Itulah bentuk sejati memberi dan berbagi. 

Berbagi di Idul Fitri

Idul Fitri 1 Syawal 1435 H tinggal 1 hari lagi. Persisnya jatuh besok tanggal 28 Juli 2014 menurut versi pemerintah. Bagi umat Muslim dunia, hari besar tersebut teramat suci untuk dijadikan ajang berkumpul bersama keluarga sambil bermaaf-maafan. Saya menggarisbawahi, momentum Idul Fitri setelah 1 bulan penuh menjalani ibadah puasa Ramadhan patut dijadikan refleksi diri dalam mengaktualisasi peran masing-masing di lingkungan terkecil. Refleksi yang seyogianya menghasilkan umpan balik dalam bentuk sikap memberi dan berbagi paling tidak dalam wujud keikutsertaan menciptakan perdamaian, keadilan, keutuhanciptaan, mengakui keragaman perbedaan, berperan menangkal benih-benih permusuhan dan mendaratkan sikap-sikap kasih terhadap sesama manusia tanpa diskriminasi. Pada sisi lain, defenisi berbagi harus pula diterjemahkan sebagai aktualisasi sikap dan kasih tanpa pemahaman sempit sebatas uang atau barang semata. Pasca-perayaan Idul Fitri, peran berbagi/memberi dengan hati dapat saja dimulai dalam lingkungan terdekat semisal keluarga, orangtua, saudara, teman-teman, pembantu rumah tangga, tukang sampah, penarik becak, orang-orang sekitar terdekat, relasi bahkan “orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian”.

Patut disadari, berbagi dengan hati kepada sesama saat Idul Fitri, Natal/Tahun Baru atau hari besar keagamaan lain dalam bentuk sederhana seperti pemberian THR, merupakan salah satu wujud ibadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebenarnya tidak terlalu berat dilakukan namun entah kenapa sikap manusia untuk memberi dan berbagi itu sepertinya semakin pupus dihapus kemajuan. Padahal kalau saja itu dilakukan, upahnya pasti besar di surga dan niscaya amal hidup semakin memunculkan rasa tenang, sukacita, damai dan hidup bertambah sejahtera. Sebab, sangat tidak bijaksana rasanya bila kita mampu secara finansial dan tahu ada orang-orang di sekitar kita yang pantas diperhatikan, namun gara-gara merasa tidak memperoleh kepentingan apa-apa, kita justru menghindar, pura-pura bloon bahkan menolak. Memberi dan berbagi dalam konteks sederhana THR harusnya jadi tradisi yang tidak memerlukan proses “diminta-minta” melainkan inisiatif yang lahir dari hati paling dalam. Muncul secara pribadi, kelompok apalagi unit bisnis berbentuk perusahaan komersial. Wajib diketahui pula, tidaklah semua orang punya mental dan kebiasaan untuk meminta keinginan tersebut baik secara langsung/tidak langsung. Karena THR itu kental menyangkut kepedulian sosial, rasa setia kawan dan solidaritas kemanusiaan, yang saya garsbawahi di sini jadi nota bene bahwa realisasinya tidak butuh tekanan melainkan kesadaran hati. Hubungan relasi antara sesama yang terjalin tentu saja menampakkan kesimpulan jelas siapa yang lebih pantas memberi dan siapa pula yang harus dibagi. Bila kita umpamakan saja ada seorang office boy kantor mendapat THR bersifat pribadi secara diam-diam dari bosnya, sedangkan sejak awal dia tidak pernah meminta, maka bisa dipastikan kalau bosnya itu termasuk golongan yang berbagi dengan hati. Sementara si office boy bakal sulit melupakan seumur hidupnya lantaran merasakan ketulusan tanpa embel-embel kepentingan apapun. Logika sederhananya, orang berkekurangan dan masih hidup pas-pasan saja bisa memberi, lalu kok Anda tidak peduli ? Akhirnya saya mau menutup tulisan garis bawah ini dengan kalimat: pemberian tulus dari orang berkekurangan dan masih hidup pas-pasan jauh lebih mulia dibanding pemberian orang yang mengaku kaya tapi bukan datang dari hatinya. Jadi hentikanlah berbagi dan memberi hanya karena ingin diamati..! Selamat Idul Fitri 1435 H kepada sahabat-sahabat umat Muslim di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, Republik Indonesia dan dunia ini. Mohon maaf lahir dan bathin. Wassalam, Syalom…

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here