Life is not just how to get what we need from others but how to sharing with a sincerity of heart. One of hardest part of this life is deciding to share without any interest. Arti kalimat bijak itu kira-kira begini: hidup ini tidak hanya untuk menerima sesuatu dari orang lain tapi mampu memberi/berbagi dengan ketulusan hati. Salah satu yang teramat sulit dilakukan manusia saat ini adalah berbagi secara tulus tanpa taget kepentingan apapun.
Saya sengaja mengangkat angel tulisan garis bawah kali ini karena dilandasi tradisi perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri 1434 H yang tinggal hitungan jam. Tradisi itu kerap memunculkan imbauan terhadap pihak-pihak yang berekonomi kuat alias kaya untuk mau berbagi kepada warga berkekurangan, terkhusus orang-orang yang ada di sekitarnya. Kalau saat ini kita percaya bahwa ternyata ada orang kaya dan bahkan orang yang masih hidup berkekurangan/pas-pasan mau berbagi karena unsur ketulusan, peduli, setia kawan, solidaritas, tidak berfikir target yang diharapkan kelak serta menyadari bahwa sebagian rezekinya adalah milik orang lain, maka adalah sesuatu yang sulit dipercaya atau bisa dihitung jari bila seorang anggota DPRD, aparat, pejabat, birokrat maupun konglomerat mau memberi perhatian semisal Tunjangan Hari Raya (THR) tanpa melihat lebih dulu latar belakang kekinian orang yang akan diberinya. Andai cuma sebatas teman tapi teman tersebut dianggapnya kini tidak memiliki jabatan, posisi atau kekuatan apa-apa lagi yang bisa menguntungkan dirinya, maka hanya dalam mimpi kali yeeeee si anggota DPRD, aparat, pejabat, birokrat maupun konglomerat mau berinisiatif berbagi. Inilah fakta miris yang jamak terlihat di permukaan. Ketulusan memberi/berbagi ibarat barang langka yang sangat sulit diperoleh di lingkungan masyarakat, lembaga publik, pemerintahan bahkan institusi sosial kemanusiaan bernama lembaga donor darah sekalipun. Semua punya harga berdasarkan posisi, jabatan dan kepentingan apa yang bakal didapatkan sekarang, besok atau di kemudian hari.
Berangkat dari konsepsi tersebut, maka setidaknya ada 3 perilaku mendasar manusia yang perlu diketahui bila strata sosial hidupnya sudah masuk status kaya/berkecukupan. Pertama, ada yang kaya tapi hanya akan berbagi bila kepentingannya terakomodasi. Kedua, ada yang kaya tapi tidak bakal mau berbagi kalau belum dipuja, dipuji, disanjung hingga diagung-agungkan seperti Tuhan dengan cara-cara tertentu. Dan ketiga, ada pula yang kaya namun tak pernah memberi sebelum diminta secara halus maupun kasar. Tiga perilaku hidup sikap si kaya itu akhirnya saya kategorikan dalam tulisan ini jenis manusia yang suka “diamati”. Itupun kalau tidak mau dikatakan sombong. Kendati fakta sikap ini cenderung berlaku umum bagi manusia di penjuru dunia, tapi secara normatif sebenarnya tidak sedikit pula orang kaya yang enggan bersikap begitu. Mereka bahkan sangat bijaksana tatkala berbagi kasih dengan cara meminta agar namanya jangan diungkap ke permukaan. Kemudian ada pula yang sembunyi-sembunyi bak legenda Inggris Robin Hood membagi-bagikan makanan atau uang untuk masyarakat miskin di kawasan kumuh, ke panti asuhan membantu yatim piatu hingga panti jompo.
Orang Kaya Suka Diamati Saat Berbagi
Saya pun terkenang beberapa pengalaman terkait sosok-sosok orang kaya yang memang suka “diamati” saat berbagi. Diantaranya gelaran pesta-pesta kelompok tertentu yang bertujuan melakukan penggalangan dana atau biasa disebut lelang makanan/barang. Berkali-kali mengamati situasi seperti itu, orang-orang kaya yang ikut melelang dipastikan siap mengeluarkan uang berapapun asal saja pembawa acara lelang pintar memanas-manasi yang bersangkutan dengan menyebut-nyebut namanya di hadapan publik. Nah, saat semua mata sudah tertuju ke figur si kaya, entah kenapa saya cuma melihat kekuatan motivasi memberi itu muncul lantaran namanya dipuji, dipanggil dan diagung-agungkan. Tidak dilandasi ketulusan, keikhlasan apalagi hati yang bersih saat memberi. Sebatas sikap eksklusif belaka..!!! Pengalaman berikutnya saya saksikan ketika bekerja pada salah satu perguruan tinggi swasta di Medan sebagai Public Relations (Humas). Aktivitas saya sehari-hari adalah mendampingi Ketua Yayasan. Tapi ironisnya, saya justru tidak pernah bangga berada di sampingnya apalagi kagum pada sosok yang disebut-sebut kaya raya di Sumatera Utara. Bukan apa-apa, di hadapan orang-orang sekitar yang selalu membantu aktivitasnya, si Ketua Yayasan selalu senang menunjukkan kemampuan maksimal memberi bantuan apapun saat diminta pihak-pihak tertentu. Sementara orang-orang yang ada di sekitarnya sendiri selalu dibiarkan kesepian di tengah-tengah keramaian. Kalaupun diberi, tidak lebih dari Rp. 10-20 ribu saja. Itupun melalui proses panjang ikut dinas ke luar daerah kurun waktu berhari-hari bahkan hitungan 1 minggu. Orang-orang yang (selalu) ada di dekatnya tetap dalam posisi sapi perahan karena dianggap karyawan yang sudah digaji perusahaan. Padahal, gaji yang diberikan perusahaan sebatas uang recehan yang jumlahnya masih di bawah UMK/UMP tanpa tunjangan standard apapun seperti medical, SPJ dinas luar kota, lembur dan lain sebagainya. Lagi-lagi saya mau mengatakan, kekuatan motivasi memberi yang melekat pada si Ketua Yayasan ini adalah bangga memberi saat diminta kelompok eksklusif dan kemudian mempertontonkan secara demonstratif sikap eksklusif ‘dermawan murahan’ terhadap orang-orang sekitarnya.
Fakta memberi karena suka diamati sering pula saya cermati melekat kental pada gaya pejabat, aparat, wakil rakyat, birokrat hingga konglomerat. Kita contohkan saja ajang Pemilu Caleg atau Pilkada yang belakangan sudah banyak terlaksana dan saat ini sampai Pemilu 2014 kedepan dipastikan mulai mengkristal lagi. Bukan apa-apa, mayoritas Caleg bahkan calon kepala daerah cenderung tiba-tiba suka melakukan aksi sosial dengan cara memberi bantuan uang atau barang ke rumah ibadah seperti mesjid, gereja hingga lembaga kemanusiaan. Tapi siapa yang tidak tahu, semua aksi sosial tersebut tidak lebih dari kepentingan diri yang diharapkan terakomodasi secara kelembagaan. Kekuatan motivasinya tetap sama, yaitu kepalsuan, suka diamati, kebanggaan sesaat serta vested interest (kepentingan tersembunyi).
Tiga Pertanyaan Menggeltik untuk Orang Kaya
Garis bawah ini pun ingin menggelitik orang-orang yang mengaku kaya atau disebut-sebut kaya itu dengan 3 pertanyaan sederhana. Pernahkah Anda berdiskusi dengan hati nurani sendiri sebelum berbagi ? Apakah kekuatan motivasi memberi dilandasi keikhlasan/ketulusan hati atau sebatas dilatarbelakangi 3 landasan perilaku di atas? Lalu, bagaimana kekuatan motivasi berbagi terhadap orang-orang di sekitar Anda dan ‘orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian’ di luar sana? Maaf, tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan keberadaan semua manusia dunia yang masuk kategori kaya dan berkelimpahan materi ekonomi. Tulisan ini juga tidak tertarik menggugat bagaimana cara Anda memperlakukan gelimang harta yang dimiliki sekarang. Melainkan hanya mengungkap ironi miris yang kebetulan sering terjadi di sekitar kita khususnya memasuki perayaan hari besar keagamaan. Saya menggarisbawahi, tidak ada 1 kesalahan apapun yang dilakukan bila manusia yang tergolong kaya mempedomani 3 landasan perilaku hidup di atas. Saya juga mau mengatakan, perilaku tersebut sangat normatif, manusiawi dan merupakan hak mutlak masing-masing individu. Tapi melalui garis bawah ini saya ingin mengingatkan, kalau Anda hanya mampu memberi sesuatu kepada orang lain/lembaga tertentu demi balasan setimpal yang Anda harapkan atau yakini akan diperoleh, berarti tidak ada perbuatan yang istimewa di sana. Semua orang bisa melakukannya termasuk si miskin sekalipun. Perliaku tersebut sama saja ibarat menghadiri undangan pernikahan yang bakal dibalas kembali oleh rekan yang Anda kunjungi. Itu sama pula ketika Anda mengirimkan papan bunga ucapan selamat terhadap seorang relasi, yang suatu waktu akan dibalas lagi ketika Anda menggelar pesta tertentu. Dan perilaku itu pun tidak jauh berbeda saat Anda mengajak rekan kantor/bisnis makan siang. Karena dilain waktu giliran rekan Anda bakal mengajak makan siang bersama lagi. Saya mau memastikan, Anda akan benar-benar kaya secara manusiawi bila 3 landasan gaya hidup yang saya beberkan di atas tadi tidak meninggalkan kekuatan motivasi berbagi terhadap orang-orang di sekitar Anda dan segudang orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian. Sebab menurut saya, seseorang baru terbukti kaya bila memiliki motivasi memberi dan berbagi terhadap orang-orang sekitarnya yang secara langsung/tidak langsung ikut mendukung aktivitasnya. Kemudian merencanakan berbagi kepada ‘orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian’ semisal fakir miskin, anak yatim piatu, orangtua jompo, anak jalanan, penderita penyakit menahun, narapidana di penjara, atau entah siapapun dia tapi memang pantas untuk dibagi. Dalam artian, golongan ‘orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian’ itu dipastikan tidak mengenali kita dan besar kemungkinan bakal tidak berfikir untuk membalas perbuatan baik kita. Bagi saya, masih ada orang-orang kaya yang mau sembunyi-sembunyi melakukan hal tersebut seperti gaya legenda Inggris Robin Hood. Dan kalau ada orang kaya menerapkan begitu tanpa embel-embel akomodasi kepentingan pribadi, bisnis, politik, ekonomi, Caleg, Pilkada, Pilpres, pengagungan nama atau jenis motivasi serupa lain, maka sebenarnya sosok-sosok tersebut masuk kategori kaya harta dan kaya hati. Memberi dan berbagi dengan hati bukan harus diamat-amati oleh siapapun. Bila saja memungkinkan, tangan kiri kita pun tidak perlu mengetahui saat tangan kanan memberi. Itulah bentuk sejati memberi dan berbagi.
Berbagi di Idul Fitri
Idul Fitri 1434 H tinggal 4 hari lagi. Persisnya jatuh tanggal 8 Agustus 2013. Bagi umat Muslim dunia, hari besar tersebut teramat sakral untuk bisa berkumpul bersama keluarga sambil bermaaf-maafan. Saya kembali menggarisbawahi, ajang Idul Fitri setelah 1 bulan penuh menjalani ibadah puasa Ramadhan, patut dijadikan refleksi diri dalam mengaktualisasikan peran masing-masing di lingkungan terkecil. Refleksi itu pun seyogianya menghasilkan umpan balik yang bisa bermanfaat dalam mendorong penciptaan perdamaian, keadilan, keutuhanciptaan, mengakui keragaman perbedaan, berperan menangkal benih-benih permusuhan dan mendaratkan sikap-sikap kasih terhadap sesama manusia tanpa diskriminasi. Pada sisi lain, defenisi berbagi harus pula diterjemahkan sebagai perwujudan sikap dan kasih tanpa pemahaman sempit sebatas uang atau barang semata. Pasca perayaan Idul Fitri, aktualisasi peran berbagi/memberi dengan hati dapat saja dimulai dalam lingkungan terdekat semisal keluarga, orangtua, saudara, teman-teman, pembantu rumah tangga, tukang sampah, penarik becak, orang-orang sekitar terdekat, relasi bahkan ‘orang-orang yang masih kesepian di tengah-tengah keramaian’.
Patut disadari, berbagi dengan hati kepada sesama saat Idul Fitri, Natal/Tahun Baru atau hari besar keagamaan lain dalam bentuk sederhana seperti pemberian THR, merupakan salah satu wujud ibadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebenarnya tidak terlalu berat dilakukan namun entah kenapa sikap manusia untuk memberi dan berbagi itu sepertinya semakin pupus ditelan zaman. Padahal kalau saja itu dilakukan, upahnya pasti besar di surga dan niscaya amal hidup semakin memunculkan rasa tenang, sukacita, damai dan hidup bertambah sejahtera. Sebab, sangat tidak bijaksana rasanya bila kita mampu secara finansial dan tahu ada orang-orang di sekitar kita yang pantas diperhatikan, namun gara-gara merasa tidak memperoleh kepentingan apa-apa, kita justru menghindar, pura-pura bloon bahkan menolak kendati sudah diminta. Memberi dan berbagi dalam konteks THR harusnya jadi tradisi yang tidak memerlukan proses ‘diminta-minta’ melainkan inisiatif yang lahir dari hati paling dalam. Baik muncul secara pribadi, kelompok apalagi unit bisnis berbentuk perusahaan komersial. Wajib diketahui pula, tidaklah semua orang punya mental dan kebiasaan untuk meminta keinginan tersebut baik secara langsung/tidak langsung. Karena THR itu kental menyangkut kepedulian sosial, rasa setia kawan dan solidaritas kemanusiaan, yang saya garsbawahi di sini jadi nota bene bahwa realisasinya tidak butuh tekanan melainkan kesadaran panggilan hati. Hubungan relasi antara sesama yang terjalin tentu saja menampakkan kesimpulan jelas siapa yang lebih pantas memberi dan siapa pula yang harus dibagi. Bila kita umpamakan saja ada seorang office boy kantor mendapat THR bersifat pribadi secara diam-diam dari bosnya, sedangkan sejak awal dia tidak pernah meminta, maka bisa dipastikan kalau bosnya itu termasuk golongan yang berbagi dengan hati. Sementara si office boy bakal sulit melupakan seumur hidupnya lantaran dirasakan tulus tanpa embel-embel kepentingan apapun. Logika sederhananya, orang berkekurangan dan masih hidup pas-pasan saja bisa memberi, lalu kok Anda tidak peduli ? Kaciaaaan deh loe..! Akhirnya saya mau menutup tulisan ini dengan kalimat: pemberian tulus dari orang berkekurangan dan masih hidup pas-pasan jauh lebih mulia dibanding pemberian orang yang mengaku kaya tapi bukan datang dari hatinya. Jadi hentikanlah berbagi dan memberi hanya karena ingin diamati..! Selamat Idul Fitri 1434 H kepada Umat Muslim. Mohon maaf lahir dan bathin.