MartabeSumut, Medan
Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) mengingatkan Departemen Hukum dan HAM RI melalui petugasnya dan para warga binaan di lingkungan lembaga pemasyarakatan (LP) se-Indonesia agar segera menghentikan praktik tirani (sikap sewenang-wenang-Red) sepihak. Sebab, selain merugikan banyak orang, juga menimbulkan benih-benih kerusuhan.
Saat dikonfirmasi MartabeSumut, Selasa siang (20/8/2013) di gedung DPRDSU, Ketua Komisi A DPRDSU Oloan Simbolon ST dan anggota Komisi A Drs H Raudin Purba, sepakat menyatakan, keributan/kebakaran yang terjadi di LP Tanjung Gusta Medan pada Kamis malam (10/7/2013) lalu, terindikasi kuat sebagai bagian tidak terpisahkan dari praktik tirani yang diperankan petugas LP terhadap Napi selama ini. Sehingga para Napi ikut-ikutan meniru pola kesewenang-wenangan sikap petugas dengan cara main hakim sendiri.
Kerusuhan dari Akar Masalah yang Sama
Menurut Raudin Purba, kerusuhan serupa yang terjadi di LP Labuhan Ruku Kab Batubara pada Minggu (18/8/2013) sekira pukul 17.30 WIB, bukan mustahil bersumber dari akar persoalan yang sama. Raudin pun mengaku khawatir kasus LP Tanjung Gusta Medan kemarin telah menjadi percontohan buruk bagi LP-LP Indonesia. Karena selama ini aparat Depkum HAM atau petugas LP diduga kuat mengandalkan tirani kekuasaan terhadap Napi. “Fakta itu membuat Napi merasa tertekan terus sebagai manusia dan ikut menampilkan tirani sendiri mengatasnamakan orang-orang yang merasa teraniaya. Berbagai alasan apapun bisa dimunculkan besar dalam kondisi terdesak,” duga politisi PKS ini.
Raudin membeberkan, tatkala tirani terjadi kurun waktu panjang dipraktikkan petugas LP, ‘bom waktu’ akhirnya meledak berbentuk balasan sikap kesewenang-wenangan para Napi dengan mempertontonkan aksi anarkis. Sudah menjadi rahasia umum, lanjut Raudin, seluruh LP di Indonesia sarat masalah yang ujung-ujungnya duit alias UUD. Mulai dari kapasitas penghuni melebihi daya tampung, pengadaan kamar khusus, kualitas makanan/minuman, fasilitas MCK, listrik, waktu berkunjung hingga hal-hal menyangkut hak semisal remisi atau pembebasan bersyarat (PB). “Siapa yang tidak tahu kalau tirani petugas LP terhadap Napi kerap bernuansa UUD. Bila UUD tidak diperoleh petugas, kesewenang-wenangan akan dirasakan Napi. Makanya berbagai kesulitan Napi kita duga telah memunculkan fenomena pembenaran praktik tirani melalui aksi kekerasan,” ujar Raudin.
Masalah Manajemen LP
Oleh sebab itu, belajar dari realita tirani yang sudah berlangsung lama di LP, legislator membidangi hukum dan pemerintahan ini mengimbau pihak pengambil kebijakan di LP untuk menyikapi 2 persoalan mendasar. Pertama terkait manajemen LP yang suka membiarkan berbagai kesalahan-kesalahan masa lalu dan kedua masalah human error (kesalahan manusia-Red). “LP kita overload, ya pihak LP dan Depkum HAM RI harus menambah kapasitas dong untuk hunian warga binaan. Bukan mencari-cari pembenaran atas ketimpangan tersebut,” sindirnya. Calon Legislatif (Caleg) DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Daerah Pemilihan (Dapem) Sumut 3 Nomor Urut 6 itu berkeyakinan, pola manajemen LP yang manusiawi akan mencerminkan pengaturan yang tidak mengabaikan hak-hak asasi tahanan. Baik dari pengadaan makan, minum, MCK dan hak-hak lain yang sepatutnya diperoleh. “Jangan malah ditekan dengan tuntutan UUD. Jangan perlakukan Napi kayak binatang. Kita minta pihak Depkum HAM mengusulkan kepada pemerintah daerah dan pusat agar secepatnya menganggarkan pengadaan lahan bangunan LP yang representatif berikut fasilitas primer sesuai kebutuhan manusia. DPRDSU mendukung manajemen LP yang lebih manusiawi sebab kejahatan yang dilakukan masyarakat dan pejabat tampaknya bertambah terus,” terangnya.
Persoalan Human Error
Pada sisi human error, imbuh Raudin lagi, saat ini berbagai peristiwa yang terjadi sulit diketahui mana yang betul dan mana yang salah. “Tak tau kita mana mau dipanuti dan diikuti. Contoh kasus Walikota nonaktif Rahudman Harahap yang bebas murni. Mana yang mau diikuti, hakim, jaksa, polisi atau siapa? Semua punya tafsir masing-masing,” herannya. Artinya, timpal Raudin, kalau petugas LP memang sudah tahu ada kesalahan seperti kapasitas tempat, pengadaan makanan atau tuntutan ‘setoran’ petugas jaga saat Napi dikunjungi tamu, seharusnya cepat ditanggulangi dan bukan dianggap pembenaran atas kesalahan yang diperbuat. Bila selama ini petugas LP sewenang-wenang (tirani), Raudin mengimbau agar dihentikan supaya Napi jangan memendam emosi dan meledakkannya dengan aksi sewenang-wenang pula. “Semua pihak terkait berkewajiban menghentikan pola-pola tirani di LP baik dari petugas maupun Napi. Kita tidak mau ada korban jiwa jatuh lagi seperti kasus Tanjung Gusta. Mari kita hargai HAM dan memutus rantai mental UUD setiap ada Napi yang berhak mendapat pembebasan bersyarat (PB),” pintanya. Polisi juga disarankan Raudin memproses setiap pelanggaran hukum yang dilakukan Napi sedangkan aparat LP yang melakukan kesalahan wajib ditindak serius oleh institusi Depkum HAM.
Kesewenang-wenangan di LP Terakumulasi
Hal senada disampakan Oloan Simbolon. Bagi Caleg DPR RI 2014-2019 dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daerah Pemilihan Sumut 1 itu, kesewenang-wenangan yang dirasakan warga binaan di LP selama ini merupakan bentuk akumulasi kekecewaan terpendam. Peristiwa LP Tanjung Gusta Medan dan LP Labuhan Ruku Batubara diistilahkan Oloan sebagai gunung es yang bisa saja cepat ‘mencair’ terjadi di LP lainnya. Akar masalah dinilai Oloan tidak terlepas dari perlakukan terhadap manusia yang kurang manusiawi. “Petugas LP harus memposisikan Napi sebagai manusia tanpa tekanan atau tuntutan yang aneh-aneh. Bina dan buat mereka punya banyak kegiatan. Jangan sewenang-wenang pada mereka supaya warga binaan tidak berbuat serupa,” ungkapnya.
Politisi Fraksi Gerindra Bulan Bintang Reformasi (GBBR) DPRDSU ini setuju gejala tirani petugas dan Napi tidak boleh diteruskan dalam konteks perbaikan mental petugas maupun warga binaan. Andaikan kesewenang-wenangan dilakukan petugas LP atau tahanan, kata Oloan, harus diberikan tindakan tegas secara nyata supaya aksi anarkis tidak menjadi percontohan buruk kedepan. Oloan menegaskan, beberapa hari setelah LP Tanjung Gusta Medan dibakar Napi, pihaknya memanggil Kakanwil Hukum dan HAM Sumut dalam satu pertemuan di DPRDSU. Masalah overload LP diakuinya menjadi pembahasan penting sehingga memunculkan usulan pembebasan 30 Ha lahan di kawasan eks PTPN II untuk lokasi LP. “DPRDSU mendukung kapasitas LP yang lebih manusiawi. Kita minta kepada Gubsu membebaskan lahan agar fungsi LP dapat dijalankan dengan sebenarnya,” tutup Oloan. (MS/BUD)