MartabeSumut, Medan
Tuntutan Dosen Indonesia kepada pemerintah agar merevisi
Peraturan Presiden (Perpres) No. 88 tahun 2013 tentang Tunjangan Kinerja
Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) semakin kuat. Dukungan yang digalang lewat petisi melalui
situs terus bertambah sampai sekarang. Hingga berita ini diturunkan,
petisi telah ditandatangani sekira 2.000 dosen. Baik dari Perguruan
Tinggi Swasta (PTS) maupun dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Petisi masih terus dibuka dan diyakini akan menembus 10.000-an dosen. Demikian dikatakan oleh Abdul Hamid, melalui release yang diterima MartabeSumut,
Rabu (15/1/2014). “Kami masih membuka dukungan petisi untuk menuntut
revisi Perpres 88/2013 yang diskriminatif. Selain itu, kami juga akan
meminta revisi Perpres No.65/2007 tentang tunjangan fungsional dosen
yang sudah lama,” kata Abdul Hamid, yang juga dosen di Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
Kebijakan Janggal Kemendikbud
Berdasarkan informasi yang diperoleh, tunjangan
kinerja (remunerasi) bagi pegawai fungsional (dosen) di
Kementerian/Lembaga di luar Kemdikbud tetap diberikan. “Bila dosen di
luar lingkuangan Kemendikbud diberikan, mengapa Dosen di lingkungan
Kemdikbud tidak? Dosen di Badan Pusat Statistik (BPS) tetap menerima
tunjangan kinerja, padahal mereka juga mendapatkan tunjangan profesi.
Kenapa dosen di lingkungan Kemdikbud tidak dapat, dan bukankah itu
diskriminasi namanya,” sesal Abdul Hamid bertanya. Kebijakan yang
janggal di Kemendikbud bukan hanya terkait renumerasi, tetapi juga
pemberian tunjangan fungsional dan tunjangan profesi (serdos). Kemdikbud
diduga telah melanggar Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. “Pasal 54 ayat (2) UU No.14/2005 mengamanatkan kepada pemerintah
untuk memberikan tunjangan fungsional bagi dosen baik PNS maupun yang
bukan PNS,” jelas Ranny Emilia yang juga Dosen di Universitas Andalas
Padang. Masih lanjut Ranny, Kemendikbud juga jelas-jelas melanggar pasal
45, jo pasal 46 ayat (1), jo. pasal 51 poin (d) jo pasal 60 poin (c) UU
No.14/2005 yang mewajibkan dosen meningkatkan kualifikasi akademik
melalui tugas belajar. Namun, dosen yang sedang tugas belajar tunjangan
fungsional dan serdosnya dihentikan. “Ini kebijakan yang aneh dan tidak
masuk akal. Ribuan dosen yang sedang tugas belajar dirugikan. Tugas
belajar adalah bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi dan amanah UU.
Untuk itu, kami mohon penjelasan M. Nuh, dasar hukum penghentian
tunjangan-tunjangan tersebut,” heran Ranny.
Ketidakadilan
Senada dengan Ranny, Janner Simarmata menambahkan,
ketidakadilan yang dialami dosen di lingkungan Kemendikbud sangat jelas.
Hal ini dapat dilihat dengan membandingkannya terhadap dosen di
lingkungan kementrian/lembaga lain yang mengelola perguruan tinggi.
“Perpres yang mengatur remunerasi pegawai dan dosen di
kementerian/lembaga lain tidak mengecualikan untuk mendapatkan kinerja.
Padahal mereka juga tetap mendapatkan tunjangan profesi dan fungsional,”
tegas Janner Simarmata, yang juga dosen di Universitas Negeri Medan.
Perbedaan itu disebutnya mengindikasikan bahwa, Perpres yang mengatur
remunerasi dimasing-masing kementerian/lembaga drafnya diusulkan oleh
masing-masing kementerian/lembaga. “Itu artinya, Kemendikbud telah
keliru dan melupakan dosen. Dosen Indonesia akan melayangkan surat
kepada Mendikbud untuk duduk bersama membahas ketidakadilan tersebut,”
yakinnya.
Jawaban Mendikbud Tidak Relevan
Menanggapi pernyataan Mendikbud, M. Nuh beberapa hari lalu, Ketua
Forum Akademisi Informasi dan Teknologi (FAIT), Hotland Sitorus
mengatakan, jawaban M. Nuh tidak relevan dengan permasalahan yang
dituntut. “Kami tidak melihat relevansi jawaban Mendikbud M. Nuh
terhadap tuntutan para Dosen Indonesia. Jawaban yang tidak argumentatf
dan tidak menyinggung substansi permasalahan,” ungkap Hotland Sitorus.
Kalau alasan karena sudah mendapatkan serdos, lalu dosen tidak lagi
mendapatkan remunerasi, Hotland mempertanyakan kenapa dosen di luar
lingkungan Kemendikbud mendapatkan renumerasi. “Lantas, apakah semua
dosen di Kemendikbud yang memiliki NIDN dan jabatan fungsional sudah
mendapatkan serdos,” tanya Hotland. Dia mempercayai masalah yang terjadi
hanya kebijakan di Kemendikbud. Dosen Indonesia dikatakannya berharap
M. Nuh harus menjadi Bapak di Kemendikbud dan bukan sebagai Tuan.
“Apabila pertemuan dengan Mendikbud tidak berhasil, rencana selanjutnya
adalah menemui Presiden SBY dan Komisi X DPR-RI. Bahkan kami mengajak
Dosen di seluruh Indonesia untuk mengajukan peninjauan ke MA terkait
kebijakan pemotongan tunjangan fungsional dan serdos dosen yang sedang
tugas belajar,” tutupnya.(MS/Rel/DEKSON)