MUSIM Pilkada Serentak Tahun 2019 segera tiba, tepatnya akan dilaksanakan pada bulan September 2020 mendatang. Sebanyak 23 (dua puluh tiga) Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara akan ikut dalam jadwal ini. Perhelatan politik lima tahunan yang penting ini sudah diwarnai oleh berbagai kehangatan perbincangan para elite lokal. Khusus untuk yang memilih jalur perseorangan langkah persiapan mestinya sudah dilakukan lebih awal.
Pertanyaan yang selalu muncul di tengah rakyat ialah, apa yang kita peroleh dari setiap suksesi? Sirkulasi kekuasaan mungkin telah terjadi, namun akomodasi atas kebutuhan rakyat (social basic needs) tetap menggantung di langit tertinggi meski segala macam janji pernah diobral saat kampanye. Karena itulah terasa begitu penting mendorong semua pihak untuk mengarusutamakan perumusan dan pengawalan program berbasis konstitusi dalam pemerintahan yang justru entry pointnya ada pada suksesi. Kegagalan ini berawal dari model demokrasi pilihan Indonesia. Itulah yang memang menjadi penyebab utama. Pilihan langsung memprasyaratkan popularitas dan elektabilitas yang sayangnya semua itu bisa diperoleh dengan berbagai usaha pengelabuan yang tak jarang berujung pada modus tunggal yang dikonversi dengan materi. Fenomena politik transaksi akhirnya memang menjadi kelaziman belaka. Hal lain yang tetap secara kuat mempertahankan politik transaksi itu ialah pilihan perilaku pemerintahan yang tunduk pada rumus 2-1-2. Satu masa pemerintahan yang berdurasi 5 tahun secara analitis dapat dibagi menjadi 3 penggalan. Penggalan pertama berdurasi 2 tahun, saat satu pasangan kandidat telah dilantik usai kemenangan pilkada. Kesibukannya belum move on dari tema-tema kampanye dan berusaha meyakinkan bahwa keterpilihan adalah mandat rakyat sambil melakukan konsolidasi. Umumnya inti konsolidasi adalah bongkar pasang kabinet. Dengan berbagai alasan diwacanakan bahwa visi dan misi pemerintahan harus didukung oleh tim kerja yang kuat.
Semua Pejabat Daerah Politisi
Semua pejabat daerah pada dasarnya adalah politisi. Jika tingkah kepemihakannya dapat memenangkan satu pasangan, harapan besarnya ialah akan beroleh reward dalam bentuk mempertahankannya dalam jabatan atau promosi ke satuan kerja yang lebih bergengsi. Di atas segalanya demokratisasi yang berjalan enggan mendistribusi nilai demokrasi itu secara menyeluruh dan institusi-institusi politik membonsainya pada urusan sukses semata. Padahal demokrasi itu mestinya menjadi nilai yang menyertakan rakyat dalam semua urusan.
Rakyat adalah komponen dalam sinergitas segitiga pemerintah, dunia usaha dan civil society. Lihatlah bagaimana Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dibuat. Konsepnya tak mau mengukur benang merah antara demokrasi dengan ekonomi. Bagi IDI tak jadi soal rakyat jelata makin membesar jumlahnya dalam penderitaan massif kemiskinan struktural asalkan indikator lain tetap dengan skor tinggi. Pertanyaannya, untuk apa berdemokrasi jika kondisi yang identik dengan penjajahan tempo hari menjadi pilihan akhir, kesenjangan sosial ekonomi begitu parah, namun justru yang dituju hanya pilkada dan pemilu? (BERSAMBUNG)
* Penulis Shohibul Anshor Siregar adalah Dosen FISIP UMSU || Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nbasis).