Pemimpin Redaksi (Pemred) Media Online Kritis & Realistis MartabeSumut.Com Budiman Pardede, S.Sos menjadi salah satu narasumber Dialog Interaktif yang digelar Lembaga Swadaya Masyarakat Elemen Masyarakat Cinta Negeri (LSM Mentari) dan Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol Linmas), Jumat siang (14/12) di Hotel Tiara Jalan Imam Bonjol Medan. Budiman Pardede membawa materi bertajuk ‘Administrator Negara Feodalis, Pelayanan Publik Terkikis’.
Dalam pemaparannya di hadapan sekira 80 peserta unsur pelajar SMU, mahasiswa, pengurus LSM dan tokoh pemuda dari Kota Medan, Budiman Pardede menitikberatkan pemahaman awal tentang arti administrasi, fungsi administrator negara, ciri-ciri administrator negara feodalis dan pelayanan publik yang terkikis. Ke-4 angle tersebut selanjutnya dikaitkannya dengan topik sentral dialog yang mengambil thema ‘upaya pemberantasan korupsi di Indonesia’. Menurut Budiman Pardede, dirinya tidak tertarik berbicara mengenai pemberatasan korupsi karena faktanya kasus korupsi semakin gencar muncul ke permukaan disela-sela penegakan hukum yang dilakukan KPK, Jaksa dan Polisi. “Sepertinya perilaku korupsi telah menjadi pembusukan budaya yang mendarah daging di Republik kita. Karena saat ini ada 78% kepala daerah yang dipilih rakyat langsung jstru terlibat korupsi. Makanya saya lebih tertarik mengajak forum diskusi ilmiah sekarang dan semua komponen masyrakat untuk mengamati benih-benih korupsi pada berbagai lembaga publik pemerintahan. Nah, penyelenggara lembaga publik itulah yang disebut administrator negara selaku penangungjawab roda administrasi,” beber Budiman Pardede.
Makna Administrasi dan Administrator Negara
Dia menjelaskan, defenisi administrasi secara harfiah bermakna segala proses yang dilakukan satu sistem untuk mencapai tujuan. Bila menyangkut tujuan negara, katanya, maka pejabat/aparat/PNS/birokrat merupakan sosok-sosok administrator negara yang berperan strategis menggerakkan roda organisasi pemerintahan dalam menggapai tujuan. Idealnya, lanjut Budiman Prdede lagi, sosok-sosok tersebut berkewajiban memproses pencapaian kepentingan daerah plus cita-cita negara. Tidak terkecuali kepentingan internal struktural/fungsional pemerintahan atau eksternal pelayanan masyarakat secara universal. Tidak persoalan pula jika sosok administrator negara itu sebatas pelaksana keputusan atau berada pada level pengambil kebijakan. Artinya, imbuh Budiman Pardede, pemahaman terhadap fungsi administrator negara akan menjadi penting bila dihubungkan dengan keberadaan/perilaku administrator negara tersebut menjalankan tugas/tanggungjawab melayani masyarakat.
Ciri Administrator Negara Feodalis
Menyinggung ciri-ciri administrator negara feodalis, Budiman Pardede denilainya teramat mudah untuk diidentivikasi. Kalau perilaku mereka bersifat ganda, bermental subjektif menjalankan administrasi, mengedepankan sikap pemilah-milahan (diskriminatif), membagi strata sosial masyarakat kelas besar (penguasa/tuan tanah/pejabat/pembesar) dan kelas sosial kecil (pekerja/para budak/rakyat), mengutamakan pelayanan dengan melihat untung rugi (korup/suap) hingga mencerminkan target vested interest (kepentingan tersembunyi), Budiman Pardede memastikan itulah penyebab terkikisnya pelayanan publik, cermin perilaku memprihatinkan dari sosok administrator negara yang masuk kategori feodalis serta cikal bakal benih-benih bencana korupsi di Indonesia. “Korupsi jangan dilihat secara sempit saja terkait memperkaya diri dengan merampok uang negara. Tapi seandainya seorang PNS/birokrat/aparat/pejabat bertugas sesuka hati, pamrih melayani publik, seenaknya mengurusi kepentingan masyarakat, bolos, tidak displin bahkan menunda-nunda urusan warga karena kepentingan tersembunyi, maka semua bentuk sikap itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktivitas yang menuju muara korupsi,” ingatnya. Sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab atas tercapainya tujuan negara, perilaku administrator negara feodalis diyakininya telah tumbuh subur bak jamur tanpa memikirkan kepentingan lebih luas kedepan selain keuntungan pribadi, kelompok dan golongan. Suatu gaya yang dikatakan Budiman Pardede merupakan benih-benih kepemimpinan perekonomian berpaham feodalis Eropa dan diadopsi dari Romawi pasca runtuh pada abad ke-3. “Padahal sistem tersebut sepatutnya sudah ‘wafat’ abad ke-14 masa Renaisance sebab bertentangan dengan hak asasi/kemanusiaan,” ungkapnya.
Buruknya Pengurusan Administrasi Kependudukan
Budiman Pardede pun mencontohkan buruknya pelayanan administrator negara dalam pelayanan publik semisal pengurusan administrasi kependudukan di kantor lurah/camat. Bagi dia, fakta empiris miris tersebut kerap terjadi di hampir semua lembaga pemerintahan Medan/Sumut pada era kekinian dan dirasakan masyarakat luas. Sosok-sosok administrator negara ditudingnya bangga mempertontonkan peta pelayanan publik yang terkikis, berorientasi suap maupun korupsi. “Besar kemungkinan forum ilmiah ini akan dengan cepat mengungkap 1 jenis pelayanan publik yang bobrok dari seorang administrator negara yang memimpin 1 lembaga publik. Dan itu bisa dipastikan muncul karena dirasakan sendiri melalui pengalaman pribadi warga dalam banyak kesempatan. Namun bila mengamati 276 jenis layanan publik dalam website http://diskominfo.sumutprov.go.id milik Dinas Kominfo Sumut, maka rakyat Indonesia dan warga Sumut berhak menyingkap sejauh mana kualitas yang diperoleh dari ke-276 jenis pelayanan publik tersebut. Apakah disikapi tebal atau memang dikikis habis oleh para administrator negara pada lingkungan kerja,” sindir pria yang juga memimpin LSM Dewan PERS Sumut ini.
Oleh sebab itu, semenjak dini, Budiman Pardede mengajak para peserta diskusi interaktif atau masyarakat luas untuk tidak memupus harapan pemberantasan korupsi melalui semangat kebersamaan memberikan kritik, tegoran dan masukan elegan tatkala merasakan pelayanan publik yang terkikis. “Tak ada yang bisa menjamin korupsi bisa diberantas dari muka bumi ini. Namun kita tak boleh putus asa melainkan terus mendukung kinerja adminisrator negara pada semua lembaga pemerintahan agar tidak feodalis atau menyimpang. Mari kita mulai dari lingkungan terkecil, sebab bila administrator negara sudah sadar memberi pelayanan terbaik, niscaya benih-benih korupsi terkikis dengan sendirinya,” ujar Budiman Pardede.
Setelah penyampaian materi, sebanyak 10 peserta dialog interaktif tampak antusias bertanya dan menyingkap pengalaman pribadi masing-masing saat berurusan di kantor-kantor pemerintahan. “Saya pernah dipersulit saat mengurus kartu keluarga di kantor lurah. Mereka mempersulit dengan alasan-alasan aneh padahal ujung-ujungnya mematok uang Rp. 300 ribu. Bagaima menghadapi ini pak, ” tanya Popy Sinaga, salah satu peserta. Menanggapi itu, Budiman Pardede menyarankan agar warga bersikap bijak, elegan dan tegas dalam menyadarkan/menegur perilaku buruk aparat tersebut. “Bisa saja mereka kita ingatkan secara lembut namun tegas semisal kesiapan membayar tapi harus dengan memakai kuitansi tanda terima. Kita pura-pura bodoh saja dan menyatakan bahwa kuitansi itu adalah bukti pembayaran warga untuk pemasukan pendapatan daerah,” jawab Budiman Pardede. (MS/GREVIN)