Kota Medan yang modern, madani dan religius ternyata masih sebatas angan-angan hingga saat ini. Selama 2 tahun 10 bulan memimpin Kota Medan, Walikota Rahudman Harahap bersama Wakil Walikota Dzulmi Eldin, terbukti belum berhasil menuntaskan 7 masalah teknis publik yang tergolong berantakan.
Setidaknya itulah keluh kesah Ir Jaya Arjuna, MSc (60), akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU). Kendati semenjak dini mengaku telah capek ‘meneriakkan’ impian jutaan warga Medan yang mengidam-idamkan hadirnya kota modern, madani dan religius, toh sampai sekarang Pemerintah Kota Medan ditudingnya gagal menangkal masalah klasik semisal banjir kiriman karena ‘bangga’ mengandalkan proyek korek parit yang terkesan menghambur-hamburkan uang rakyat. Kepada Jurnalis MartabeSumut Budiman Pardede di Kampus USU Medan, beberapa waktu lalu, Jaya melepas kecamuk hati serta menuntut kepemimpinan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin agar secepatnya membereskan persoalan yang ada di sisa masa jabatan. “Tiga impian warga Medan itu sepenuhnya tergantung komitmen pemerintah mewujudkan masyarakat Medan yang modern, madani dan religius. Merupakan strong point utama memajukan kota maupun perikehidupan rakyat,” singkap Jaya.
Sebenarnya, kata Jaya, Kota Medan ini tidaklah sulit-sulit amat memiliki masyarakat yang berkehidupan baik, damai, adil, aman, nyaman, lancar dan sejahtera. Pencapaiannya tergolong sederhana dan bukan muluk-muluk diraih bila semua pihak bergandengan tangan. Menurut Jaya, 3 impian itu tergolong general dan sederhana namun menjadi keprihatinan besar bila tak kunjung tercapai. Jebolan Teknik Mesin USU tahun 1983 itu memastikan, Medan yang modern mengisyaratkan lahirnya kebijakan-kebijakan daerah yang berorientasi pada unsur informatif, aspiratif dan komunikatif. Konsekwensi logis yuridis formil unsur-unsurnya bermuara pada hubungan emosional antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpin sehingga memunculkan umpan balik kesepahaman tindakan. “Konotasi modern jangan ditafsirkan negatif. Tapi bermakna saling pengertian dan memahami bahasa masing-masing melalui jembatan komunikasi, aspirasi dan informasi. Tapi sekarang kerap terlupakan sementara ‘orang-orang penting’, pemimpin Medan maupun para penyusun dan pengambil kebijakan datang silih berganti.,” sesalnya. Jaya menjelaskan, Pemerintah dan pemimpin Medan yang modern mencirikan semangat keterbukaan diri/institusi. Selanjutnya tidak enggan berkomunikasi dengan semua lapisan dalam bingkai saling mengkritisi. Dia percaya, perilaku modern seorang pejabat publik akan mudah diamati masyarakat melalui keterbukaan informasi, sigap menerjemahkan persoalan hingga proaktif menyiasati kondisi terkini. “Pola keterbukaan pejabat modern akan menuntun partisipasi tinggi dari semua warga,” yakinnya.
Sementara masyarakat madani ditegaskan Jaya hanya bisa diraih tatkala unsur pemimpin (pengambil kebijakan) menyamakan persepsi akan kesakralan penegakan hak dan nilai-nilai kemanusiaan. Sekecil apapun keluhan warga atau kekeliruan masyarakat, wajib hukumnya diposisikan dalam pendekatan kemanusiaan. Kalau ada yang salah atau melanggar hukum sekalipun, lanjutnya, tetap harus diproses tanpa meninggalkan hak-hak hakiki manusiawi. Pada sisi lain, kepekaan pemerintah mendaratkan program-program pembangunan bermuatan sosial diistilahkan Jaya berkorelasi terhadap penggalangan kekuatan dikalangan warga untuk menepis anggapan miris pemimpinnya.
Selanjutnya, alumnus Magister Sistem Informasi Lingkungan University Putera Malaysa (UPM) tahun 1996 itu mematok unsur religius kedalam faktor penentu setelah pola modern dan madani dioptimalkan. Sebagai orang Timur yang meyakini kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, terang Jaya, Kota Medan nan agamis hanya bisa tercipta bila semua komponen daerah benar-benar berperilaku baik dalam kehidupan masing-masing. Artinya, timpal Jaya, pemimpin yang baik dan memiliki dasar-dasar religi pasti berjuang keras membawa rakyatnya ke taraf kehidupan maju. “Agama memerintahkan umatnya berbuat baik. Pemimpin yang divonis baik (agamis) tentulah tidak sekadar basa basi manis di bibir merencanakan terobosan kemaslahatan kehidupan,” aku Jaya.
Pembenahan Lingkungan
Dibentengi sikap modern, madani dan religius, akhirnya Jaya menilai pembenahan lingkungan menjadi penting disegerakan tanpa harus malu memperbaiki berbagai kekurangan. Langkah pembenahan harus dijadwalkan serentak bertahap untuk mengurai ‘benang kusut’ pada 7 sarana teknis publik daya dukung lingkungan. Diantaranya; sekolah, pasar, sungai, drainase, rumah sakit, fasilitas publik dan penghijauan/wisata kota. Jaya membeberkan, pada tahun 2006 kondisi lingkungan Medan sebenarnya masuk kategori baik. Sementara keberadaan pasar pernah meraih predikat terbaik. Namun di tahun 2007, lingkungan dan kebersihan Kota Medan menurun drastis sehingga warga Medan terpaksa meradang manakala Adipura hilang. Dia melanjutkan, pada tahun 2008 situasi keindahan Medan kian memprihatinkan. Bukan apa-apa, selain gagal membawa Adipura, kota berpenduduk sekira 3 juta-an jiwa ini juga harus rela dicap jorok. Kemudian diperparah lagi tahun 2009 dengan sebutan kota terjorok. Namun persoalan sampah dan penataan lingkungan kota yang masih menjadi ‘PR’ besar, kala itu, disebutnya memperlihatkan tanda-tanda ‘aneh’ pada awal tahun 2010. Presiden SBY dan Meneg LH RI Prof Dr Ir Gusti Muhammad Hatta justru memberikan piagam dan plakat kepada Pemko Medan untuk kategori Metropolitan, Selasa 8 Juni 2010 di Jakarta. Menurut Jaya, data dan fakta empiris tersebut memang tidak bisa dinafikan. Tapi harus diakui jujur bahwa fakta lingkungan di penjuru kota Medan dominan membuat ‘dada sesak’. Oleh sebab itu, upaya pembenahan dan perbaikan 7 sarana publik dipastikan Jaya patut dimaksimalkan terus. Sehingga sebagian besar warga Kota Medan berhenti meradang keheranan, enggan menyandang atau malu ‘menggadang-gadang’ Piala Adipura bila fakta di lapangan justru bertolakbelakang.
Sekolah
Jaya mengakui memuji sikap Rahudman yang pernah serius menata/meninjau langsung kondisi pasar-pasar dan sungai saat menjabat Pj Walikota Medan. Tapi langkah Rahudman itu dinilainya kurang strategis mengingat faktor utama penataan lingkungan tidak dimulai dari sekolah-sekolah. Alasannya diungkap Jaya menyangkut penanaman nilai-nilai luhur lingkungan terhadap generasi semenjak dini. Profil sekolah dasar, menengah pertama maupun menengah atas, saat ini disesalkan Jaya tidak lagi bersih dan hijau. Melainkan kotor, jorok, kurang nyaman, tidak sehat dan cenderung tandus. Hampir tidak ada yang peduli sementara manajemen sekolah dan para guru sibuk dengan urusan masing-masing. Siswa justru didiamkan dalam proses pembiaran tanpa upaya memberi pemahaman. Tak heran, lingkungan sekolah mayoritas masuk kategori memprihatinkan. Untuk itu, Pemerintah Kota Medan perlu memprogramkan aksi perangsangan pada manajemen sekolah agar bisa diteruskan kepada siswa didik. Walikota Medan diimbaunya tampil mengkoordinir penghijauan areal sekolah dengan luas minimal 75%. Kemudian melakukan penanaman pohon bersama-sama guru dan murid seraya mendoktrin kesadaran generasi akan pentingnya menjaga lingkungan. “Jadi secara tidak langsung kita telah mendidik setiap manusia,” ucapnya. Jaya juga menyatakan kekaguman tatkala mengamati sekolah-sekolah di Kudus Jawa Timur. Siswa didik di sana dinilainya sudah dilatih menghijaukan lahan sekolah agar tampak aman, nyaman, teduh, bersih dan sehat. “Mari kita contoh sekolah berwawasan lingkungan itu,” ingat Jaya.
Pasar
Sebagai tempat pertukaran dan interaksi manusia, kondisi pasar tradisionil/modern di Medan akui Jaya berada pada taraf mengecewakan alias tidak manusiawi. Kebersihan tak tampak sementara sampah dibiarkan berserak. Situasi makin parah dengan tumpah ruahnya manusia pedagang/pembeli tanpa batasan populasi. Ekses ini otomatis memunculkan imbas ikutan semisal kemacetan ruas jalan di sekeliling pasar. Belum lagi kenihilan nilai artistik pasar dan kegersangan keadaan gara-gara minus tanaman. Realita kekinian tersebut diharapkan Jaya cepat disiasati sang ‘Medan-1’ selaku mandataris ‘rakyat Medan’. Jaya mengungkapkan, pada tahun 1900 pusat pasar Sentral pernah menjadi yang terbaik didirikan Belanda. Bangunannya bernuansa artistik dengan lahan sekitar yang hijau tanpa pemandangan sampah. Bagi Jaya, pola pasar yang sehat seperti itulah yang sebaiknya dioptimalkan berkesinambungan. Caranya meliputi penegasan kebersihan lokasi, mengatur jam operasi serta pembatasan jumlah pedagang. Disamping itu, urgensitas keberadaan pasar induk dan pusat pasar kuliner, perlu didirkan secara terpisah supaya menjadi ciri daerah Medan sekaligus membantu mengurangi konsentrasi kepadatan/kemacetan.
Sungai
Diakui atau tidak, keberadaan beberapa sungai di Medan umumnya dalam kondisi baik. Namun terlihat jadi kurang baik manakala minim perhatian serta pengelolaan terpadu. Sampah dan limbah menjadi pemandangan jamak menghiasi sungai beserta daerah alirannya. Sementara pemikiran publik tak kunjung terbentuk untuk sadar mencintai keindahan lingkungan sungai. Jaya pun mencontohkan banjir kiriman yang kerap datang menerjang dari wilayah tetangga semisal Kab Karo dan Kab Deli Serdang. Menurutnya, komunikasi kepada 2 daerah tersebut perlu diatur berkesinambungan dengan melibatkan pejabat dari Badan Wilayah Sungai (BWS). Jaya juga membeberkan keberadaan Sungai Kerah yang merupakan sungai buatan semasa koloni Belanda. Sayangnya, kata dia, saat ini Sungai tersebut tak terkelola lagi dan justru masuk kategori paling dangkal disebabkan muatan sedimen. Sementara Sungai Deli terkesan jorok padahal menjadi icon Kota Medan. Fenomena di depan mata itu praktis mempengaruhi daya dukung ligkungan dan indahnya ekosistem kota. Pemerintah diharapkannya memprogarm langkah pengerukan sedimen, pengorekan badan sungai atau bahkan melakukan penghijauan holtikultura. Daerah aliran atau benteng-benteng sungai dipastikannya memunculkan aroma wisata lingkungan bila dihiasi tanaman secara terjadwal. “Kan bisa ditanami cabe atau tomat. Kenapa tidak menciptakan icon wisata sungai di Medan ini,” tukasnya dengan nada tanya.
Drainase Induk
Sejak jaman penjajahan Belanda, Kota Medan dikatakan Jaya sudah memiliki beberapa drainase induk yang cukup baik. Terkonsentrasi di sebagian inti kota serta beberapa daerah pinggiran. Belakangan kondisi drainase tak lagi mampu membendung dan mengatur arus lalulintas air yang masuk ke kota Medan disebabkan kurangya perawatan. Akibatnya, sedikit dan sebentar saja hujan turun, maka Medan sudah dikepung banjir. Jaya juga membenarkan kalau Proyek MUDP yang pernah dilancarkan beberapa tahun lalu bertujuan mengatasi masalah tersebut. Namun selain disebabkan sampah dan rendahnya daya dukung serap tanah plus porak porandanya fasilitas drainase, otomatis kota Medan tak sanggup mengelakkan kepungan banjir. “Bila tidak mau banjir lagi, saya rasa perlu diprogramkan perbaikan drainase seperti buatan Belanda dulu,” imbau Jaya.
Rumah Sakit
Kalau sebelumnya Jaya menilai suasana pasar-pasar di Medan tergolong tidak manusiawi, ternyata hal serupa dialamatkannya juga terhadap rumah sakit dan berbagai pusat pelayanan kesehatan masyarakat. Tanda-tanda itu disebutnya tidak terlalu sulit untuk diamati manakala manajerial rumah sakit mengedepankan unsur kemersial dibanding sosial. Meliputi; rendahnya pengelolaan manajemen pasien, minimnya fasilitas penanganan limbah hingga melorotnya tingkat kenyamanan si sakit. Jaya berkeyakinan, rumah sakit dan pusat kesehatan publik yang baik hanya dapat tercipta di Medan bila lembaga tersebut minus pasien. Dalam artian, ujar dia lebih jauh, pemantapan kondisi lingkungan, pemberian rasa nyaman dan mewujudkan pelayanan kemanusiaan menjadi mutlak ‘disosialisasikan’ pemimpin Medan/instansi terkait kekedepannya.
Fasilitas publik
Untuk kategori fasilitas publik kondisinya juga diungkapkan memudar. Secara perlahan lenyap sehingga warga mulai kehilangan hak menikmati lingkungan. Sementara daya dukung lingkungan ikut pula merasakan gangguan atas akselerasi kemajuan pembangunan. Sekarang ini Jaya mencermati keberadaan ruang terbuka hijau dan taman Kota Medan hanya berkisar 3%. “Seharusnya minimal 30%,” katanya. Jaya mengusulkan, Walikota Medan sebaiknya memprogramkan fasilitas publik semisal taman kota pada 21 kecamatan di Medan. Tujuannya untuk membuat warga tidak lagi ‘lari’ ke plaza-plaza membawa keluarga karena secara tidak langsung telah mengajarkan pola hidup konsumtif.
Penghijauan/Wisata Kota
Penghijauan kota melalui penanaman bibit-bibit pohon di semua bahu jalan berimplikasi pada keindahan lingkungan kota dan daya dukung tanah menyerap air. Logika itu secara sistematis berpengaruh juga terhadap kesejukan pemakai jasa jalan yang nota bene warga kota. Dari konsepsi penghijauan, selanjutnya pemerintah Medan disarankan Jaya menetapkan 1 kawasan inti strategis yang bisa dikategorikan daerah wisata kota. Dia pun mengkritik pola pengelolaan kebun binatang Medan yang hingga saat ini bersifat ‘sekadarnya’ dan belum tepat disebut wisata kota. “Bangkitkanlah wisata kota melalui perpaduan keindahan flora, fauna, air yang mendekatkan warga pada lingkungan dan bernilai kemanusiaan tinggi,” harap Jaya. Pengumpulan kembali potensi budaya lokal dipastikannya sebagai bentuk kekuatan keragaman etnis. “Medan hampir kehilangan jati diri karena tak ada pelestarian budaya etnis. Wujudkan Medan sebagai Kota Budaya,” pintanya, seraya mengingatlkan lagi impian Medan nan modern, madani dan religius dapat terwujud di sisa kepemimpinan Rahudman-Eldin.