www.MartabeSumut.com, Medan
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mengecam tindakan represif pihak kepolisian terhadap masyarakat Desa Nambiki Kecamatan Selesai Kab Langkat, kemarin. Sebanyak 10 Petani diamankan saat berlangsungnya okupasi lahan.
Direktur Bakumsu, Manambus Pasaribu, kepada www.MartabeSumut.com, Jumat malam (25/1/2019), menjelaskan, dalam berbagai berita dijelaskan bahwa terjadi bentrok antara masyarakat dan pihak kepolisian yang melakukan okupasi lahan PT Langkat Nusantara Kepong (LNK) di Desa Nambiki. Masyarakat mencoba menghadang excavator (alat berat) yang melakukan okupasi lahan. “Dalam video yang sudah tersebar di media sosial, terlihat bahwa beberapa personel kepolisian melakukan penangkapan kepada massa aksi. Dimana massa aksi yang ada di lapangan berjumlah puluhan orang termasuk anak-anak dan kaum ibu,” sesalnya.
Sesuai pengamatan Bakumsu, ungkap Manambus, di Desa Nambiki terdapat 4 (empat) Dusun yakni Dusun I, Dusun II, Dusun III dan Dusun IV. Peristiwa represif massa disebutnya terjadi di Dusun III dan Dusun IV yang diklaim oleh PT Langkat Nusantara Kepong sudah dibeli dari PTPN II sebelum bangkrut. Dikatakannya, ada kabar menyatakan bahwa PT Langkat Nusantara Kepong (LNK) sudah memberikan tali asih kepada masyarakat. Padahal masyarakat melalui Agustinus Samura menyatakan hal itu tidak benar. “Dari 104 KK yang menerima hanya sekira 12 KK menerima. Diduga tali asih diterima oleh warga yang bukan bertempat tinggal di Desa Nambiki,” tegasnya.
Langgar Hak Masyarakat
Menurut Manambus, tindakan represif yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Pihak kepolisian dinilainya tidak memiliki wewenang menangkap 10 orang petani yang pada malam harinya dibebaskan. Dia merinci, petani yang ditangkap diantaranya seorang ibu yang saat itu sedang membawa anaknya. Akibat dari tindakan tersebut, Manambus menegaskan beberapan anak-anak mengalami luka-luka fisik sedangkan beberapa kaum ibu menderita luka memar di sekujur tubuhnya. “Kami minta pemerintah segera mengambil tindakan cepat dan tepat untuk penyelesaian kasus HGU PTPN II. Karena kasus yang terlampau lama penyelesaiannya menimbulkan banyak konflik di area HGU PTPN II,” imbau Manambus.
Bagi Manambus, pemerintah tidak seharusnya menutup mata terhadap kejadian-kejadian di Desa Nambiki. Sebab persoalan itu adalah contoh kecil dari persoalan agraria yang tersebar di Sumatera Utara bahkan Indonesia secara keseluruhan. “Apapun konsekuensinya, persoalan agraria negeri ini adalah beban sejarah yang harus diselesaikan. Tanpa komitmen yang sungguh sungguh dari pemerintah, konflik agraria akan terus menimbulkan kerugian bagi negeri,” ingatnya. Oleh sebab itu, Bakumsu menyampaikan 3 tuntutan meliputi : pertama, pihak Kepolisian tidak melakukan tindakan represif dalam penanganan kasus di Desa Nambiki. Kedua, pemerintah diminta lebih responsif dan tanggap akan penyelesaian konflik yang banyak terjadi di sekitaran eks HGU PTPN II. Ketiga, DPRD Provinsi Sumatera Utara mengevaluasi kinerja kepolisian dalam penanganan konflik agraria di Sumatera Utara. (MS/DEKS)