Ayo Bercermin ke Malaysia Soal Disiplin di Tempat Publik dan Mental Berlalulintas

Bagikan Berita :

Catatan perjalanan ke Malaysia yang pernah saya tulis 1,5 tahun lalu sengaja dimuat lagi dalam rubrik garis bawah ini. Sebab saya masih saja iba menyaksikan disiplin pribadi warga Medan di tempat publik, begitu pula dengan mental berlalulintas di jalan raya. Satu fakta miris kekinian yang jangan enggan diakui, supaya tak malu belajar kepada negara jiran yang memiliki kadar arogansi tinggi dan kerap merendahkan bangsa Indonesia.

Pada Jumat 1 Juli 2011 udara sangat cerah tatkala arloji di tangan menunjukkan pukul 1.35 waktu Kuala Lumpur atau persisnya pukul 12.35 WIB di Kota Medan. Dalam kondisi matahari terik saya menapakkan kaki di Kuala Lumpur International Airport. Saya sempat termenung takjub menatap suasana keteraturan bandara dari tangga pesawat. Terkenang peristiwa tahun 1999 saat pertama kali menginjakkan kaki di Malaysia, dalam urusan kemahasiswaan dan organisasi kepemudaan. Bukan apa-apa, setelah 12 tahun mampir lagi di negara yang kerap diributkan karena sering `membantai` TKI, saya melihat aktivitas bandara tetap saja teratur dan malah semakin menampakkan banyak penambahan gedung baru. Seorang rekan warga kebangsaan Malaysia bernama Shin Yan (35) terlihat menunggu kedatangan saya di `balai ketibaan`. Pria keturunan Tionghoa itu saya kenal sejak beberapa tahun lalu. Dia memang sengaja datang menjemput dan berkenan meluangkan waktu mengajak saya mengenal seluk beluk Kota Kuala Lumpur lebih jauh lagi.

Awal bertemu kami langsung berjabat akrab dan duduk di salah satu sudut koridor ruang tunggu bandara. Tanpa sadar, saya mengeluarkan rokok dan berniat menghidupkannya. Tapi Shin Yan langsung mencegah dan berkata ; “dont you see that, we gonna pay RM 10.000 if the police saw us”.  (kamu tidak melihat itu, kita akan dikenai denda RM 10.000 atau sekira Rp25 juta oleh polis bila merokok di area publik,” kata Shin, sambil menunjuk pelang pemberitahuan di atas pojok tempat kami duduk). Saya pun tersadar bukan lagi di Medan dan langsung menggaruk kepala. Padahal saya juga tahu kalau Shin termasuk perokok aktif. Spontan saya melongok ke berbagai arah mencari-cari sosok polisi di sekitar bandara. Namun tak ada seorangpun. Menariknya lagi, kendati cuma ada pelang pengumuman tanpa sosok-sosok polisi mengawasi penegakan aturan, keramaian bandara siang itu memang membuktikan tidak tampak tanda-tanda kepulan asap dari semburan perokok. Hati saya paling dalam langsung menyiratkan rasa malu dan kecut membayangkan mayoritas warga Medan (Indonesia), yang baru akan mau menerapkan disiplin di tempat publik bila melihat fisik petugas. Pada sisi lain, saya juga tidak bisa menyembunyikan rasa kagum terhadap mental disiplin publik warga Malaysia.

Beberapa saat kemudian saya diajak Shin menuju parkir mobil. Shin sigap menyetir mobilnya dan melaju keluar dari area bandara. Setelah mobil berada di luar kawasan bandara, saya masih saja merenungkan `teguran` Shin menyangkut rokok. Kecamuk itu menggelora terus sementara mata saya jelalatan memperhatikan ruas jalan dan lalulintas kendaraan yang berseliweran. Lamunan saya menggelora deras membandingkan dengan kondisi Kota Medan yang sama sekali tidak terlalu mempersoalkan disiplin merokok di tempat publik. Tapi lebih dari itu, masalah besar semisal perilaku egois, mau menang sendiri dan tidak peduli keselamatan jiwa orang lain di kawasan publik, adalah potret buram yang tumbuh subur setiap saat. Pada menit berikutnya lamunan saya buyar. Saya kembali memberanikan diri mengeluarkan rokok dan berkata pada Shin. “Can i smoke now?” (bolehkah saya merokok sekarang?). Shin justru menjawab pertanyaan saya dengan tawa keras sembari mengeluarkan rokok dari kantongnya. “Hahahahahha, lets smoke. There`s no rule and no police here. I already guess what you gonna do in my car”. (mari kita merokok, tak ada aturan dan tak ada polis di sini. Saya sudah menduga apa yang akan kamu lakukan setelah berada di mobil,” ucap Shin dengan tawa lepas).

Tertib Lalulintas

Dua jam kemudian akhirnya kami tiba di Sentral Kuala Lumpur. Satu Kota yang saat ini cukup padat sampai-sampai pusat pemerintahan Malaysia dipindahkan ke salah satu state bernama Putra Jaya sejak tahun 1999 (wilayah pengembangan baru dengan perjalanan 45 Menit dari Kuala Lumpur). Pertama yang saya lihat di Sentral Kuala Lumpur adalah kepadatan bangunan dan arus lalulintas yang teramat ramai. Lagi-lagi saya tak berhasil membendung rasa kagum. Pasalnya, keramaian lalulintas justru tidak berimplikasi terhadap kemacetan kota. Semua pemakai jasa jalan memperlihatkan mental disiplin berkendara di tempat publik. Perparkiran tertata apik hingga pemandangan para pejalan kaki yang teratur dalam jalur masing-masing. Perlu diketahui juga, Malaysia hanya mengenal 2 lampu lalulintas pengatur jalan. Merah dan hijau. Saat tanda hijau menyala, pemakai jasa jalan boleh bebas melintas. Namun ketika lampu hijau sudah berubah `kelap-kelip hidup mati` (kalau di Indonesia lampu kuning), maka secara sigap semua pengendara menghentikan kendaraan. Karena di Malaysia tanda lampu hijau `kelap-kelip hidup mati` itu merupakan aba-aba bahwa lampu merah segera muncul. Disiplin warga Malaysia di tempat publik semisal bandara dan jalan raya yang saya amati, jelas menyuguhkan sikap patuh serta penghormatan terhadap hak-hak orang lain di sekitar. Jelas sangat kontras sampai-sampai benak saya tak berdaya membandingkannya dengan kondisi `mengerikan` di Kota Medan. Sebab sebagian pemakai jasa jalan di Medan selalu `takut` melintas kendati lampu menandakan hijau, pengendara suka menerobos lampu merah dan tidak sedikit warga tancap gas ketika lampu kuning menyala.

SPBU Isi Sendiri

Usai berkeliling 1 jam di tengah kota, Shin memutuskan menuju SPBU (galon minyak) Petronas. Kembali perasaan heran dan takjub muncul seketika. Pasalnya, semua konsumen tampak antre teratur mengambil posisi masing-masing pada jalur yang tersedia. Tidak tampak ada yang seenaknya membuka jalur antre ganda seperti di Medan. Pengendara sepeda motor menuju pengisian sepeda motor, sementara mobil pribadi dan pengangkutan umum memasuki tempat yang disediakan. Pada sisi lain, uniknya, tak satupun terlihat petugas melayani konsumen. Ketika giliran Shin tiba, dia mengeluarkan satu kartu dari dompetnya dan menggesek di tempat pengisian. Lalu menekan jumlah liter yang diinginkan untuk selanjutnya mengambil selang pengisian dan mengisi sendiri bahan bakar ke dalam tangki mobil. Setelah Shin kembali ke mobil, saya mendapat informasi dari Shin bahwa pengisian bahan bakar di Malaysia sudah swa-isi dengan sistem pembayaran online kartu kredit atau kartu jaminan sosial warga. 

Penjelasan Shin memunculkan kecamuk hati dengan nuansa `iri` atas keberhasilan pembangunan mental disiplin kompak warga Malaysia. Pertanyaan kembali menggelayut di benak saya. “Mengapa jauh-jauh datang dari Sumatera Utara, terbang ribuan mil dari Medan tapi ternyata disuguhi disiplin kepatuhan sikap luar biasa warga negara Malaysia di tempat publik?” Saya pun langsung terdiam mendengar penjelasan Shin yang sedikitpun tidak menyiratkan bangga apalagi bertanya tentang kondisi di Medan/Indonesia.

Tapi memang tidak adil juga kalau saya `iri` hanya gara-gara membandingkan bentuk buruk disiplin publik warga Kota Medan lalu menghakimi warga negara asing. Setelah lamunan saya buyar, saya kembali menatap sekitar SPBU yang mayoritas pemilik kendaraan kompak menghargai antrean pengendara lain. Dari sinilah awal semangat kecil untuk menuliskan suatu realita atas kekompakan disiplin publik di Malaysia. Karena saya juga sangat meyakini, untuk menulis satu catatan perjalanan, haruslah mencerminkan ekspresi ril dalam menterjemahkan pengalaman yang dirasakan sendiri sehingga dapat dijadikan studi percontohan teladan bagi pihak berkompeten.

Dalam sekejap saya sudah harus mengakui kepada Shin bahwa sisi disiplin publik warga Malaysia terkait merokok, berlalulintas, sistem swa-isi bahan bakar kendaraan dan banyak hal lain, jauh unggul dibanding Indonesia. Shin tidak mencoba membenarkan apalagi membusungkan dada atas pengakuan saya. Tapi saya kembali `menggelitik` dia dalam bentuk kritik terkait kemajuan Malaysia pada beberapa aspek justru diikuti perilaku sombong terhadap pendatang, kejam pada TKI dan minim penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan. “I am not kind like that, Bud. But i agree, most people in Malaysia too arogant in behaviour and Indon people full of hospitality”. (saya tidak seperti itu Bud. Tapi saya setuju, umumnya sikap rakyat Malaysia sangat arogan. Sedangkan masyarakat Indonesia penuh keramahtamahan,” tiba-tiba Shin nyeletuk, seraya tersenyum kecil menyetir mobil keluar dari SPBU).

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here