www.MartabeSumut.com, Medan
www.MartabeSumut.com, Medan
Pemilu 17 April 2019 yang diumumkan KPU Sumut menghasilkan 12 Caleg
perempuan untuk duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera
Utara (DPRDSU) periode 2019-2024. Jumlah tersebut hanya 12 persen dari
30 persen yang diamanatkan UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR-DPRD dan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Realitas itu pun
disesalkan Akademisi Fisip USU Medan Dr Asima Yanti Siahaan karena dari
100 kursi parlemen DPRDSU tidak diperoleh keterwakilan minimal 30 sosok
legislator perempuan.
Kepada www.MartabeSumut.com di
Medan, Senin siang (5/8/2019), Asima mengherankan kuota 30 persen yang
telah dipaksakan justru belum memberi hasil memuaskan. Alasannya, ungkap
Asima, program pemberdayaan perempuan masih minim dijalankan pemerintah
dan Parpol. “Saya rasa regulasi itu belum cukup. Hanya formalitas aja.
Sebab ada pengabaian oleh pemerintah dan Parpol. Tidak didukung kegiatan
dan anggaran. Makanya, hasil yang ada sekarang belum optimal. Perlu
penguatan kapasitas dan kesetaraan gender melalui kegiatan-kegiatan
supaya kelak kuota 30 persen tercapai,” tegas Asima.
Mindset Anggaran Berbasis Gender
Sekretaris Prodi Administrasi Publik ini pun mencontohkan negara
Swedia dan Norwegia yang anggota Dewan bahkan pejabatnya telah memiliki mindset
politik anggaran berbasis gender. Menurut dia, perempuan yang memakai
tas, perhiasan atau baju tergolong “wah” di tempat publik akan langsung
disorot. Asima memastikan, kebijakan pemerintah suatu negara wajib
berkonsep netral gender. “Mekanisme pasar niscaya terjadi dalam setiap
proses politik. Sehingga siapapun yang terpilih belum tentu mumpuni.
Apalagi cost politik tinggi. Calon independen saja harus bayar untuk
minta dukungan KTP warga. Budaya sangat mempengaruhi,” terangnya.
Menyinggung
12 wakil rakyat perempuan di DPRDSU termasuk berapapun yang lolos ke
DPR RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kab/Kota se-Indonesia, Asima
menyarankan agar segera belajar memahami apa yang diwakilinya.
Legislator perempuan diminta Asima mengerti terhadap kebutuhan kaum
perempuan. Baik untuk jangka pendek dan jangka panjang. “Paling tidak
mereka bisa menggolkan anggaran berbasis gender. Belajarlah menguatkan
kapasitas selaku wakil rakyat perempuan bahkan laki-laki. Bila memang
sudah duduk tapi sadar tak punya kemampuan, ya belajarlah mengubah
kapasitas. Jangan nanti setelah dilantik malah sekadar duduk, diam,
dengar, duit, gak mau tahu dan kebingungan,” sindir Asima blak-blakan. (MS/BUD)
Pemilu 17 April 2019 yang diumumkan KPU Sumut menghasilkan 12 Caleg
perempuan untuk duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera
Utara (DPRDSU) periode 2019-2024. Jumlah tersebut hanya 12 persen dari
30 persen yang diamanatkan UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR-DPRD dan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Realitas itu pun
disesalkan Akademisi Fisip USU Medan Dr Asima Yanti Siahaan karena dari
100 kursi parlemen DPRDSU tidak diperoleh keterwakilan minimal 30 sosok
legislator perempuan.
Kepada www.MartabeSumut.com di
Medan, Senin siang (5/8/2019), Asima mengherankan kuota 30 persen yang
telah dipaksakan justru belum memberi hasil memuaskan. Alasannya, ungkap
Asima, program pemberdayaan perempuan masih minim dijalankan pemerintah
dan Parpol. “Saya rasa regulasi itu belum cukup. Hanya formalitas aja.
Sebab ada pengabaian oleh pemerintah dan Parpol. Tidak didukung kegiatan
dan anggaran. Makanya, hasil yang ada sekarang belum optimal. Perlu
penguatan kapasitas dan kesetaraan gender melalui kegiatan-kegiatan
supaya kelak kuota 30 persen tercapai,” tegas Asima.
Mindset Anggaran Berbasis Gender
Sekretaris Prodi Administrasi Publik ini pun mencontohkan negara
Swedia dan Norwegia yang anggota Dewan bahkan pejabatnya telah memiliki mindset
politik anggaran berbasis gender. Menurut dia, perempuan yang memakai
tas, perhiasan atau baju tergolong “wah” di tempat publik akan langsung
disorot. Asima memastikan, kebijakan pemerintah suatu negara wajib
berkonsep netral gender. “Mekanisme pasar niscaya terjadi dalam setiap
proses politik. Sehingga siapapun yang terpilih belum tentu mumpuni.
Apalagi cost politik tinggi. Calon independen saja harus bayar untuk
minta dukungan KTP warga. Budaya sangat mempengaruhi,” terangnya.
Menyinggung
12 wakil rakyat perempuan di DPRDSU termasuk berapapun yang lolos ke
DPR RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kab/Kota se-Indonesia, Asima
menyarankan agar segera belajar memahami apa yang diwakilinya.
Legislator perempuan diminta Asima mengerti terhadap kebutuhan kaum
perempuan. Baik untuk jangka pendek dan jangka panjang. “Paling tidak
mereka bisa menggolkan anggaran berbasis gender. Belajarlah menguatkan
kapasitas selaku wakil rakyat perempuan bahkan laki-laki. Bila memang
sudah duduk tapi sadar tak punya kemampuan, ya belajarlah mengubah
kapasitas. Jangan nanti setelah dilantik malah sekadar duduk, diam,
dengar, duit, gak mau tahu dan kebingungan,” sindir Asima blak-blakan. (MS/BUD)
www.MartabeSumut.com, Medan
Pemilu 17 April 2019 yang diumumkan KPU Sumut menghasilkan 12 Caleg
perempuan untuk duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera
Utara (DPRDSU) periode 2019-2024. Jumlah tersebut hanya 12 persen dari
30 persen yang diamanatkan UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR-DPRD dan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Realitas itu pun
disesalkan Akademisi Fisip USU Medan Dr Asima Yanti Siahaan karena dari
100 kursi parlemen DPRDSU tidak diperoleh keterwakilan minimal 30 sosok
legislator perempuan.
Kepada www.MartabeSumut.com di
Medan, Senin siang (5/8/2019), Asima mengherankan kuota 30 persen yang
telah dipaksakan justru belum memberi hasil memuaskan. Alasannya, ungkap
Asima, program pemberdayaan perempuan masih minim dijalankan pemerintah
dan Parpol. “Saya rasa regulasi itu belum cukup. Hanya formalitas aja.
Sebab ada pengabaian oleh pemerintah dan Parpol. Tidak didukung kegiatan
dan anggaran. Makanya, hasil yang ada sekarang belum optimal. Perlu
penguatan kapasitas dan kesetaraan gender melalui kegiatan-kegiatan
supaya kelak kuota 30 persen tercapai,” tegas Asima.
Mindset Anggaran Berbasis Gender
Sekretaris Prodi Administrasi Publik ini pun mencontohkan negara
Swedia dan Norwegia yang anggota Dewan bahkan pejabatnya telah memiliki mindset
politik anggaran berbasis gender. Menurut dia, perempuan yang memakai
tas, perhiasan atau baju tergolong “wah” di tempat publik akan langsung
disorot. Asima memastikan, kebijakan pemerintah suatu negara wajib
berkonsep netral gender. “Mekanisme pasar niscaya terjadi dalam setiap
proses politik. Sehingga siapapun yang terpilih belum tentu mumpuni.
Apalagi cost politik tinggi. Calon independen saja harus bayar untuk
minta dukungan KTP warga. Budaya sangat mempengaruhi,” terangnya.
Menyinggung
12 wakil rakyat perempuan di DPRDSU termasuk berapapun yang lolos ke
DPR RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kab/Kota se-Indonesia, Asima
menyarankan agar segera belajar memahami apa yang diwakilinya.
Legislator perempuan diminta Asima mengerti terhadap kebutuhan kaum
perempuan. Baik untuk jangka pendek dan jangka panjang. “Paling tidak
mereka bisa menggolkan anggaran berbasis gender. Belajarlah menguatkan
kapasitas selaku wakil rakyat perempuan bahkan laki-laki. Bila memang
sudah duduk tapi sadar tak punya kemampuan, ya belajarlah mengubah
kapasitas. Jangan nanti setelah dilantik malah sekadar duduk, diam,
dengar, duit, gak mau tahu dan kebingungan,” sindir Asima blak-blakan. (MS/BUD)