www.MartabeSumut.com, Medan
Abadi Ginting (70), bekas dosen Teknik Industri USU Medan meminta pemerintah pusat, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Pemprovsu dan 7 Pemkab sekitar Danau Toba melibatkan warga lokal dalam memajukan kawasan wisata Danau Toba. Caranya, kata Abadi, dengan mengalokasikan lahan usaha bagi penduduk asli asal 7 kabupaten. Kemudian diberi kesempatan mendirikan bisnis mandiri menyangkut kebutuhan akomodasi para turis.
Kepada www.MartabeSumut.com, Abadi menjelaskan, akomodasi yang diusahai warga dalam wujud penginapan, konsumsi, transportasi hingga pendampingan turis sesuai bentuk natural wilayah setempat. Artinya, terang Abadi lagi, lahan pedesaan atau kecamatan yang disediakan memang khusus diperuntukkan sebagai kawasan akomodasi wisatawan. Dia mengatakan, lahan tersebut boleh berada di dekat tempat tinggal masyarakat dan bisa pula pada areal terpisah. Intinya, kawasan usaha digiring pada ekosistem kearifan lokal sehingga membuat turis merasakan perbedaan saat menginap di hotel. “Kenapa kita tidak mencoba membuat para turis tidak tinggal di hotel lagi melainkan hidup bersama warga ? Bisnis akomodasi yang dikelola warga kita targetkan memberi hidup sesungguhnya buat turis. Mereka berbaur dan mendapat pelayanan tradisionil. Kan jadi natural,” tegas Abadi disela-sela acara Pelatihan Go Digital Go Danau Toba (TobaSmile), belum lama ini di Aula Lt IX Bank Indonesia Jalan Balai Kota Medan.
Aliran Uang Turis Masuk ke Desa
Dosen yang sudah 40 tahun mengajar itu melanjutkan, dengan melibatkan warga lokal mengelola bisnis akomodasi turis yang melancong ke Danau Toba, maka secara otomatis akan mengalirkan uang ke wilayah desa, kecamatan dan kabupaten. Tapi Abadi mengingatkan, fasilitas akomodasi tempat tinggal, toilet, dapur serta lingkungan yang dikelola warga harus benar-benar asri. BPODT, 7 Pemkab, Pemprovsu dan pemerintah pusat dimintanya mendukung dengan membuat kontrak modal dan sistek pengelolaan lahan yang disediakan. Setiap usaha akomodasi yang dikelola warga diikat perjanjian saling menguntungkan. “Local content dipegang oleh 7 Pemkab. Teknisnya diturunkan ke lurah dan camat selaku pengawas usaha rakyat. Bisnis akomodasi turis didisain memakai konsep huta atau kampung. Jadi semua warga terlibat langsung menjaga, melindungi serta melestarikan usahanya sekaligus “menjual” kearifan budaya lokal,” ucap pria berdomisili di Kompleks USU Jalan Tridarma No 60 Medan.
Diterapkan Pemprov Sulsel
Abadi mengakui, model yang ditawarkannya adalah kebijakan yang sudah diterapkan Pemprov Sulsel di Desa Bau-bau dan Desa Wangi-wangi. Tahun 2013, singkap Abadi, dirinya pernah memiliki pengalaman menarik dari 2 desa itu. Pemerintah Sulsel disebutnya memberdayakan dan me-mandirikan penduduk lokal dengan kemandirian ekonomi. Tak heran, Abadi pun menyatakan kagum menyaksikan masyarakat di sana menikmati bisnis tersebut. Pada satu sisi pemerintah Sulsel menerima Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar dari turis, di sisi lain prekonomian warga desa merangkak naik. Warga dimotivasi mengelola bisnis akomodasi turis secara baik, bersih, aman dan asri sesuai budaya lokal. “Pemerintah cuma mengawasi atau membina, warga setempat melaksanakan kegiatan usaha. Menyediakan kamar atau rumah. Lalu disewakan ke turis dalam waktu harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan. Turis yang datang ke sana tidak lagi cari hotel. Namun ke lokasi penginapan warga,” ungkapnya. Bagi Abadi Ginting, bila konsep Pemerintah Sulsel diterapkan oleh 7 Pemkab sekitar Danau Toba, niscaya pengembangan “huta” berbasis bisnis kemandirian warga lokal akan memberi penghasilan besar kepada rakyat dan daerah. “Pembangunan wilayah itu tanggungjawab negara dan pemerintah. Danau Toba milik kita bersama. Usaha akomodasi turis yang dikelola mandiri oleh rakyat patut dicoba. Dibuat terintegrasi pada 7 kabupaten sekitar Danau Toba atau kawasan wisata lainnya di Sumut. Saya yakin bisa mendongkrak perekonomian daerah/rakyat,” tutup Abadi optimis. (MS/BUD)