www.MartabeSumut.com, Medan
Anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) HM Nezar Djoely, ST, prihatin. Pasalnya, status alas hak kepemilikan Rumah Sakit (RS) Haji tidak jelas secara hukum sementara dana untuk RS Haji justru ditampung APBD Sumut setiap tahun.
Sesuai Akta Pendirian, ungkap Nezar, RS Haji awalnya adalah milik umat yang diserahkan kepada Yayasan Haji dan kebetulan saat itu Raja Inal Siregar menjabat Gubsu. Dia membeberkan, dulu RS Haji bernama RS Islam. Kemudian berubah nama jadi RS Haji karena wakaf zakat, infak dan sodaqoh dari orang-orang yang pulang haji serta berbagai pihak yang menyumbangkan hartanya untuk kemaslahatan umat. “Asal muasalnya SK Gubsu No. 593.4/239/k/1983. Lalu SK No 6 tahun 1983 tentang kapling no 2 dan surat penyerahan dari Gubsu kepada Islamic Centre untuk dibuat rumah sakit Islam. Nah, RS Islam inilah yang ganti nama jadi RS Haji dengan kepemilikan areal 17 Ha tapi yang dipakai cuma 6 Ha,” terang Nezar kepada www.MartabeSumut.com, Minggu siang (14/5/2017) melalui saluran ponselnya.
Fatwa MUI Nyatakan RS Haji adalah Wakaf
Politisi Partai NasDem itu melanjutkan, tatkala MUI menggelar Musda tahun 2016, MUI sebagai salah satu stake holder Yayasan Haji mengeluarkan fatwa soal asal muasal RS Haji berdasarkan wakaf. “Ini merupakan keputusan rapat pleno 28 Desember 2015 yang dipimpin Ketua sidang Prof dr Ramli Abd Wahid, MA dan Sekretaris sidang dr Ardiansyah MA. Lalu pada Musda MUI ke-8 terpilih dr H Maratua Simanjuntak dan Prof dr H Syahrin Harahap, MA sebagai Wakil Ketua dan Sekretaris Prof dr H Hasan Bakti Nasution, MA. Lahan RS Haji 11 Ha dicadangkan lagi 4 Ha untuk Stikes dan sisanya belum dikembangkan,” singkap Nezar.
Dalam Akta Pendirian RS Haji Pasal 18, imbuh Nezar lebih jauh, sangat jelas ditegaskan apabila rumah sakit bangkrut atau mengalami kesulitan pendanaan maka pengelolaannya diserahkan kepada badan sosial setelah lebih dulu dihitung pailit atau hutang dibayar semua. Tapi kenyataannya secara sepihak Pemprov Sumut melakukan pembubaran yayasan berdasarkan rapat yang dibuat sendiri mengatasnamakan yayasan dan langsung mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) tahun 2011. Ironisnya lagi, timpal Nezar tak habis fikir, hasil notulen rapat justru dikeluarkan notaris tahun 2012. “Salah satu keanehan besar terungkap. Masak dasar keluarnya Pergub adalah kesimpulan rapat yang notulennya disahkan notaris sebagai legal standing? Kok bisa Pergub keluar mendahului salinan Notaris? Terkesan dipaksakan,” sindir Nezar bertanya, sembari meminta Pemprov Sumut menjelaskan status RS Haji agar APBD yang masuk tidak ilegal. Bagi Nezar, RS Haji dikembalikan saja kepada badan sosial atau Islamic Centre supaya bisa mendapat anggaran melalui sistim hibah Dinas Kesehatan daripada kelak menjadi temuan BPK. Tak heran, fakta empiris miris RS Haji saat ini diyakini Nezar telah memunculkan carut-marut penganggaran dan ajang kepentingan pihak pihak tertentu. “Coba lihat bentuk RS Haji sekarang. Sangat tidak nyaman, kotor serta banyak temuan temuan kasus bahkan sudah ada yang sampai ke Kejaksaan. Merupakan keburukan wajah rumah sakit yang sepatutnya kebanggaan masyarakat Sumut,” sesal anggota Banggar DPRDSU tersebut.
Oleh sebab itu, Legislator asal Daerah Pemilihan (Dapil) Sumut I Kec Medan Amplas, Medan Kota, Medan Denai, Medan Area, Medan Perjuangan, Medan Tembung, Medan Timur, Medan Deli, Medan Marelan, Medan Labuhan dan Kec Medan Belawan ini meminta Pemprov Sumut secepatnya mempertegas status kepemilikan RS Haji sebelum memasukkan anggaran dalam buku APBD Sumut. Kalau tidak, Nezar memastikan lembaga DPRDSU akan dianggap publik tidak paham terhadap metode penganggaran. “Saya bukan gak setuju statusnya di bawah pengelolaan Pemprov Sumut. Tapi keberadaan fatwa MUI dan Akta Notaris kian menguatkan ketidakjelasan alas kepemilikan RS Haji. Termasuk penganggaran APBD Sumut untuk RS Haji adalah ilegal,” tutup Nezar Djoely dengan nada tinggi. (MS/BUD)