Falsafah ‘sabut kelapa di tengah lautan’ ternyata dipegang erat Kepala Dinas Komunikasi/Informasi (Kadis Kominfo) Sumut Dr Asren Nasution, MA, (46) meniti kehidupan.
Bukan apa-apa, kurun waktu 22 tahun bertugas militer dan sekarang dipercaya menjadi pejabat Esselon II Pemprovsu bergolongan IV C, sabut kelapa yang tidak pernah karam diilustrasikannya cermin bijak penyesuaian diri manusia menghadapi ‘gelombang’ aktivitas. Bagi pria yang kenyang didikan ilmu agama Islam sedari kecil, ‘kegilaan’ mengoleksi beragam buku adalah bagian tidak terpisahkan dari hasrat meraih predikat guru besar alias profesor. Kendati sempat ‘diterjang’ pemberitaan media beraroma kurang sedap seputar kapasitasnya sebagai TNI aktif yang beralih status jadi PNS pasca dilantik Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho, ST pada 26 Juli 2011, toh Asren tidak menampakkan aura alergi terhadap insan Pers. Buktinya, Jurnalis MartabeSumut Budiman Pardede yang menghubungi Asren melalui ponsel, Kamis 11 Agustus 2011 sekira pukul 12.00 WIB, disuguhi respon elegan atas rencana wawancara khusus profil. “Kalo besok jadwal saya agak sibuk banget. Tapi selesai sholat Jumat jam 1 siang mungkin ada waktu luang,” kata Asren kalem, dalam percakapan berdurasi sekira 3 Menit. Sinyal yang disampaikan Asren tidak dibiarkan berlama-lama. Besoknya Jumat 12 Agustus 2010 pukul 13.00 WIB Asren langsung dikunjungi ke Lt II kantor Dinas Kominfo Sumut. Siang itu Asren terlihat bersiap-siap sholat di salah satu mesjid dekat kantornya. Berbalut batik lengan panjang warna biru laut plus celana panjang biru tua, Asren tersenyum kecil keluar dari ruangan mengenakan sandal jepit. Sekilas memandang, memang tak tampak lagi perawakan militer yang kental melekat puluhan tahun silam. “Maaf, saya sholat dulu ya. Nanti kita wawancara di dalam mobil saja karena jam 2 siang saya harus rapat di kantor Gubsu,” ujar Asren bersahaja. Sebagai jurnalis yang menjunjung tinggi value reportase (nilai kebenaran liputan/tulisan) plus kekuatan etika profesi, informasi wawancara di mobil yang disampaikan Asren ‘terpaksa’ dimaklumi karena bersifat situasional fungsional/struktural. Singkat cerita, pukul 13.15 WIB Asren terlihat kembali dari mesjid. Upaya mengabadikan Asren pun dilakukan secara kilat di ruang kerjanya sambil berbincang-bincang kecil. Tepat pukul 13.20 WIB kami sudah duduk dalam mobil Kijang Innova warna hitam pelat BK 4 F dengan rute kantor Gubsu di Jalan Imam Bonjol Medan. “Apa kira-kira yang mau ditulis Mas,” sapa Asren akrab, mengawali percakapan.
Masa Kecil
Saat mobil melaju dengan kecepatan 30-40 Km/jam, Asren mulai menuturkan cerita hidup. Dilahirkan di Kisaran pada 19 Oktober 1965, Asren melalui masa kecil dalam balutan keterbatasan keadaan. Usia 1 minggu Asren diboyong orangtua ke Desa Sukamaju Kec Tanjung Tiram Kab Batubara. Sang bapak cuma buruh kasar pada salah satu perusahaan milik etnis Tionghoa di Kota Kisaran, sementara ibunya pembuat kue, penjual pecal/rujak serta mengambil upah jahitan. Kondisi hidup seperti itu pula yang sepertinya menempa Asren tumbuh menjadi pribadi matang. Cepat belajar mengenal lingkungan, jeli membaca keadaan dan cakap menyesuaikan diri. Sejalan dengan perputaran waktu, orangtua Asren yang memiliki keluarga diamanahi 1 kedai sepeda oleh pemilik perusahaan tempatnya bekerja untuk dikembangkan di Batubara. “Pak Aleng memberikan modal, itulah awal ayah saya mandiri,” kenangnya.
Pendidikan Formal
Menyadari betul kondisi ekonomi orangtua, buah pernikahan Amir Hasan Nasution (Alm) dan Siti Asmah Rangkuti (Alm) itu akhirnya bersungguh-sungguh membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Pendidikan formal dari SD Negeri 2 Kampung Lalang Tanjung Tiram dan Madrasah Ibtidaiyah Alwasliyah (diikuti sore hari) Labuhan Ruku Talawi/Tanjung di Tiram Batubara dirampungkan tahun 1977. Setelah itu Asren memperdalam studi ke Madrasah Mualimin yang berada di Kompleks Univa Marindal Medan hingga lulus tahun 1980. Masih pada tahun yang sama, Asren juga menggali pengetahuan ke Madrasah Alqismul aly di Jalan Ismaliyah Medan. Tuntas menamatkan jenjang pendidikan setara menengah atas, anak ke-4 dari 8 bersaudara ini mendaftar ke Fakultas Dakwah Jurusan Penyuluhan dan Penerangan IAIN Medan. Hasilnya cukup memuaskan. Asren menggondol gelar sarjana pertama secara cepat dengan nomor ijazah sarjana 001 pada tahun 1987. Merasa belum puas dengan kemampuan ilmu yang ada, dicelah-celah rutinitas dinas TNI, kala itu, Asren melanjut ke jenjang magister (S2) di kampus yang sama sampai meraih Magister of Art (MA) tahun 2001. Asren tetap saja belum berhenti. Sepertinya dia sangat membenarkan pribahasa ‘capailah ilmu sampai ke negeri Cina’. Diam-diam, tahun 2005 Asren meneruskan studi S3 ke USU hingga berhak menyandang titel Doktor (Dr) tahun 2008 dengan judul Disertasi Pengembangan Wilayah (aspek sosial ekonomi budaya) terhadap pertahanan negara di wilayah pantai Timur Sumatera Utara. “Dulu bapak dan ibu tidak punya pendidikan. Makanya saya sekolah tinggi-tinggi supaya berhasil dikemudian hari,” aku pria bertinggi badan 167 Cm dengan berat 80 Kg itu.
PNS Kandas, jadi Militer
Berbicara mengenai karir pekerjaan, penyuka warna biru laut tersebut memastikannya sempat kandas di tengah jalan. Cita-cita awal PNS berujung gagal karena tidak adanya formasi tenaga yang dibutuhkan. Menurut Asren, setelah mengikuti wisuda sarjana pada November 1987, dirinya mendapat kabar tentang ketidaklulusan dalam penerimaan PNS. Asren sempat terpukul namun enggan patah semangat. Gelora hati yang tidak sudi memikul atribut pengangguran menuntunnya mencoba peluang penerimaan Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) yang kebetulan dipersiapkan untuk sarjana (S1). Asren pun mendaftar pada Desember 1987. Hasilnya? Ternyata bukan isapan jempol belaka. Suratan hidup berpihak pada Asren. Usai mengikuti proses seleksi dengan 400-an sarjana dari berbagai disiplin ilmu, Asren dinyatakan lulus untuk tingkat wilayah (Kodam I BB). Bersama 14 calon daerah yang lolos dia pun berangkat ke Bandung menjalani seleksi pusat selama 3 minggu. Di sana, kata Asren, dirinya berkompetisi lagi dengan 200-an calon tingkat pusat. “Semua peserta yang tersaring langsung mengikuti pendidikan dasar kemiliteran di Akmil Magelang. Saya lulus 18 Juni 1988 dengan pangkat Letnan Dua (Letda),” ungkap penggemar nasi dan ikan asin. Suami dari Raudatussofa, M.Psi (45) itu memang pantas diacungi jempol. Pasalnya, selain telah menampakkan sinar karir melalui tugas pertama di Kodam IX Udayana Bali sebagai Perwira Remaja, keseharian Asren tetap akrab bersama dunia sipil maupun lembaga pendidikan. Lihat saja, kurun waktu 1 tahun bertugas di Kodam IX Udayana Bali, Asren dipercaya memegang posisi strategis sebagai Kepala Penerangan Korem (Kapenrem) 162 Wirabakti Lombok Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 1990. Kemudian berpindah posisi sebagai Kepala Pembinaan Mental (Kabintal). Nah, disaat-saat seperti itulah Asren membagi waktu dinas kemiliteran dengan dunia sipil pada beberapa lembaga pendidikan. Tekad bulat terus belajar dibuktikan melalui peran aktif mengajar ke kampus IAIN dan Universitas Muhammadiyah Mataram. “Saya cukup lama bertugas di Lombok sambil menjadi dosen perguruan tinggi negeri/swasta,” ujar Asren.
Ikut Suslapa
Tahun 1999 Asren mengikuti Kursus Lanjutan Perwira Pertama (Suslapa). Selanjutnya mendapat jabatan baru sebagai Kepala Binarois Bintal Kodam I BB akhir tahun 1999. Dua tahun jadi staf pembinaan mental Kodam I BB Asren dimutasi ke Kodim 1303 Kampar Riau dengan jabatan Kepala Staf hingga tahun 2003. “Tahun 2004 saya pernah anggota DPRD Kab Kampar dan juru bicara Fraksi TNI/Polri. Namun tahun 2004 Fraksi TNI/Polri bubar karena tuntutan reformasi,” ungkapnya. Dari Kampar Riau, sekira tahun 2005, Asren pindah tugas lagi ke Kodam I BB sebagai staf Pamen biasa selama 6 bulan. Di Kodam I BB dia mendapat jabatan sebagai Kasi Penerangan dan Mass Media Pendam I BB sampai akhir 2005. “Waktu itu Kapendamnya Pak Letkol Arm Felix Hutabarat,” terang Asren. Dijelaskan Asren, pada tahun 2006 Pangdam I BB Liliek AS Soemaryo mempromosikan dirinya sebagai Kabintal Kodam I BB. Kiprah Asren pun kian tak terbendung dan semakin meroket. Tahun 2008 dia diberi jabatan strategis sebagai Kapendam I BB menggantikan Togar Panjaitan. Karir militer Asren akhirnya tamat akhir Juni 2011 setelah menempati posisi Kabintal Kostrad berpangkat Kolonel di usia 45 tahun. “Alhamdulillah, tenggat waktu pangkat Kolonel, tepat saya usai mengabdi 22 tahun,” cetus Asren bangga.
Membaca Kemauan Pimpinan
Apa prestasi militer yang paling memuaskan Anda? Pemilik hobby olahraga sepakbola ini justru tersenyum simpul. Sembari terlebih dulu menerima 1 panggilan masuk di ponselnya, Asen menganggap prestasi membanggakan kerap dirasakan tatkala mampu menjabarkan perintah-perintah pimpinan. “Saya mampu memahami apa maunya pimpinan. Hal tersebut dapat saya lakukan dengan banyak belajar, bertanya dan menyesuaikan diri seperti sabut kelapa di tengah lautan. Itulah falsafah hidup saya saat bertugas dimana saja,” tegasnya.
Asren mengakui, sejak berkarir di militer posisinya selalu berada dalam ring satu komando tertinggi. Artinya, imbuh pemakai sepatu Nomor 40 itu, disamping sibuk melayani komandan/pimpinan, sikap bersyukur atas rejeki pengalaman dari orang-orang besar kerap disadari secara mendalam. “Ada 8 Danrem di Lombok yang saya layani langsung, 7 Pangdam di Kodam I BB dan Pangkostrad Letjen TNI Pramono Edhie Wibowo yang sekarang menjadi Kasad berbintang 4 (Jenderal). Luar biasa pengalaman melayani mereka karena saya banyak belajar. Mereka adalah orang-orang hebat,” timpal bapak dari M Solahuddin Nasution, mahasiswa Ekonomi USU semester V (20), M Yasir Nasution, Sersan Taruna Akmil Magelang (18), M Faruk Nasution, Kelas III SMA I Medan (17), M Zakhwan Zuhdi Nasution, Kelas III SMP I Medan (14) dan Marwah Syofia boru Nasution (6).
Falsafah Sabut Kelapa
Mobil masih melaju dengan kecepatan sedang sementara arloji di tangan menunjukkan waktu pukul 13.50 WIB. Suasana tiba-tiba hening. Seolah-olah Asren, saya dan sopir pribadinya Edi Affandi larut menikmati kesejukan udara yang keluar dari pendingin mobil. Bagaimana dengan reaksi masyarakat yang sempat menolak sosok Anda/TNI di Birokrasi Pemprovsu ? Asren malah tampak mengalihkan pandangan ke gedung kantor Gubsu yang sudah berada di depan mata. Sembari memperbaiki cara duduk, dia memastikan kontroversi tersebut sangat wajar mengingat situasi politik pemerintahan masa lalu. Bagi Asren, didikan keras keluarga telah membuat mentalnya belajar bercermin dari sabut kelapa di tengah lautan. Manakala diterjang gelombang ke penjuru arah, sabut tetap bisa menyesuaikan bentuk tanpa karam ke dasar laut. Dalam artian, timpal Asren, dinamisnya bentuk sabut kelapa saat berada di atas air kerap dihubungkan dengan prinsip-prinsip hidup yang memposisikan pekerjaan sebagai amanah, harga diri serta kehormatan. Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumut tersebut meyakini, setiap jabatan semata-mata hanya titipan kepercayaan yang wajib diemban dengan penuh tanggungjawab. Sebab, katanya, amanah merupakan bagian tidak terpisahkan dari unsur harga diri dan kehormatan seseorang . Bila amanah dijalankan benar, Asren percaya makna profesional yang sesungguhnya akan terwujud. “Jangan mendefenisikan profesional sebatas skill (ahli) secara teknis, melainkan harus teruji berdasarkan integritas pribadi,” terang Asren mantap. Asren juga menegaskan, semenjak dini dirinya tidak pernah berencana jadi tentara apalagi Kadis. Namun bercita-cita menjadi PNS saat menimba ilmu di bangku pendidikan formal. Jabatan Kadis sekarang pun disebutnya kejutan karena tidak pernah mengumbar terhadap siapapun termasuk lingkungan keluarga. Bahkan, lanjut Asren lebih jauh, abang, kakak dan adik-adiknya tidak tahu menahu kapasitas yang bukan tentara aktif lagi. Perilaku yang ‘risih’ mengumbar itu pula yang membuat Asren berinisiatif mengumpulkan semua perlengkapan militer, kemudian mengunci dan menyimpan dalam 1 peti khusus. “Sikap tersebut membuat anak saya yang Taruna Akmil terkejut dan pernah bertanya serius,” kenang Asren dengan mata berkaca-kaca, menahan haru masa aktif TNI. Menyinggung maraknya reaksi warga yang menolak TNI di birokrasi, Asren menduga dilatarbelakangi pemikiran yang belum memahami secara utuh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2001. Menurut dia, PP bertujuan mengatur prajurit TNI/Polri menjadi PNS dengan syarat pangkat minimal Letkol dan berdasarkan kebutuhan daerah. “Kok masih ada menyebut saya Kolonel Purnawirawan padahal sekarang saya tidak pakai pangkat, NRP atau sebutan Purnawirawan. Kalo ada yang kaget wajar-wajar saja,” terangnya. Dulu di Langkat, imbuh Asren, ada seniornya bernama Zulkifli berpangkat Letkol yang saat ini dipercaya sebagai staf ahli kantor Gubsu. “Saya PNS tidak mengatasnamakan TNI. Saya sekarang sipil murni. Gak ada hubungan/pesan-pesan apalagi membawa misi TNI. Kita normatif saja untuk kebangsaan, Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika serta kesejahteraan rakyat Sumut,” singkap pria beralamat di Jalan Eka Suka Medan Johor. Suami dari PNS Guru SMAN 12 Medan itu menambahkan, dirinya belum pensiun tapi berhenti sebagai prajurit TNI sejak 1 Juli 2011 dan beralih status sebagai PNS berdasar SK Badan Kepegawaian Negara (BKN). “Sekali lagi, posisi saya sekarang telah melahirkan semangat belajar menyesuaikan diri seperti sabut kelapa di tengah lautan. Walau sebenarnya saya sudah terbiasa di kalangan fungsional/struktural Pemprovsu. Zamannya Pak Eddy Syofian saya selalu dipanggil memberi ceramah pembinaan mental untuk jajaran Kominfo Sumut,” beber pria yang menikahi putri ke-4 mantan Ketua DPW PPP Sumut H M Kasim Inas.
Sejak tahun 2010, terang Asren, Gubsu Syamsul Arifin telah berniat memproyeksikan dirinya menjadi staf khusus di Pemprovsu. “Bang Syamsul Arifin melontarkan secara terbuka pada acara buka puasa bersama dengan insan Pers saat Ramadhan tahun 2010 lalu,” singkapnya. Bapak beranak 5 yang akrab disapa buya oleh istri dan anak-anaknya ini menceritakan, niat tersebut akhirnya dilanjutkan dengan proses konsultasi kepada Sekda RE Nainggolan dan Wagubsu Gatot Pujo Nugroho, ST. Bila secara politis Syamsul Arifin dan Gatot menyimpan permasalahan, timpal Asren, Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho, ST, tidak mungkin melanjutkan apa-apa yang diusulkan Gubsu non aktif Syamsul Arifin.
Waktu untuk Keluarga
Tepat pukul 13.55 WIB mobil yang dikemudikan Edi Affandi tiba di parkiran khusus kantor Gubsu. Waktu 35 Menit bersama Asren ternyata terasa kurang mengingat banyaknya cerita yang ingin digali. Asren masih ‘duduk manis’ dan belum keluar dari mobil. Kemudian menatap saya dalam-dalam seolah-olah memberikan kesempatan bertanya klimaks. Lalu, bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga dan apa obsesi kedepan? Asren mengatakan, sejak berpangkat Letnan, aktivitas melayani pimpinan sepertinya akan terulang lagi kendati sudah berstatus PNS. Waktu khusus untuk keluarga dipastikannya tidak pernah tertradisi selain bersifat insidentil. Biasanya, ujar Asren, dia mengajak keluarga jalan-jalan, makan mie atau duduk-duduk di kawasan umum seperti Warkop Elisabeth. “Tak ada jadwal khusus. Kapan waktu luang, ya kami ‘go’. Keluarga selalu mengerti kok,” tegas Wakil Sekretaris DPW Generasi Muda Persatuan (GMP) Sumut era 80-an ini. Sedangkan obsesi hidup kedepan disebut Asren tidak muluk-muluk kecuali bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang telah diterima. Dalam pandangan kader Ikatan Pemuda Alwasliyah (IPA) Sumut itu, cita-cita PNS semenjak dini semata-mata merupakan tujuan antara agar bisa terus berkiprah seraya belajar keras mewujudkan tujuan utama; profesor. “Tidak kurang 3.000 koleksi buku tersedia di rumah saya. Selalu saya cicil membaca selain memonitor perkembangan internet. Waktu kuliah di IAIN saya pernah 3 tahun berturut-turut juara koleksi buku lho,” akunya, sambil mengungkapkan perasaan senang karena diwawancarai oleh Jurnalis berpredikat juara/terbaik se-Sumut tahun 2011. “Saya bangga sekali berhadapan dengan seorang Jurnalis yang dianugerahi Pak Gatot (Gubsu) juara pada Juni 2011 kemarin. Tolong catat itu, tolong catat kalau saya bangga pada Anda dan media Anda bertugas,” tutup Asren di akhir percakapan. (Budiman Pardede/Foto: MartabeSumut/IKLAN PROFILE PARIWARA).