Shohibul Anshor Siregar: Rakyat Tak Yakin Suaranya Dihitung di Pemilu, Kembalikan KPU 1955 dan 1999

Dosen FISIP UMSU Medan Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, saat dikonfiŕmasi di Medan. (Foto Dok: www.MartabeSumut.com)
Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Ada hal menarik dilontarkan pengamat kebijakan publik dan pemerhati sosial politik (Sospol) Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi. Kepada MartabeSumut, Kamis siang (29/8/2013), Dosen Sosiologi Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan itu meminta fungsi dan komposisi Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) se-Indonesia dikembalikan seperti era tahun 1955 dan tahun 1999.

Sebab, kata Shohibul, saat ini Komisioner KPU pusat, provinsi dan kab/kota terindikasi tidak jujur dalam menyelenggarakan pentas demokrasi rakyat Pemilu. “KPU belum mampu memberi pelajaran politik berharga bagi rakyat Indonesia. Namun sebatas membuat warga negara pusing karena rakyat tidak pernah yakin suaranya akan dihitung dalam setiap Pemilu. Kembalikan seperti tahun 1955 dan 1999 yang penyelenggaran Pemilu dilakukan Parpol selaku anggota KPU,” cetus Shohibul, menyahuti gonjang-ganjing buruknya kinerja Tim Seleksi (Timsel) KPU Sumut yang berhasil disingkap Ombudsman RI Perwakilan Sumut.

Pemilu 1955 dan 1999 Demokratis

Menurut Shohibul, tahun 1955 dan tahun 1999, penyelenggaraan Pemilu di Indonesia berlangsung cukup demokratis tanpa berbagai persoalan kecurangan yang menyeruak deras sejak Pemilu 2004, 2009 dan bakal menimbulkan bencana pada Pemilu 2014. Pemilu tahun 1955 dan tahun 1999 disebutnya diselenggarakan oleh KPU namun memiliki komisioner dari Partai Politik (Parpol). Selain tahun 1955 dan tahun 1999, Shohibul mengungkapkan keberadaan komisioner KPU telah disusupi unsur akademisi, peneliti dan birokrat, yang notabene personifikasi kepentingan penguasa. “Makanya sedari awal pemilihan dan pengangkatan Timsel KPU itu berlandaskan titipan kekuasaan. Pura-pura menjadi lembaga independen melalui penempatan unsur akademisi, peneliti dan birokrat. Bagaimana Timsel mau independen sedangkan KPU saja jelas-jelas lembaga yang tidak independen dan pura-pura independen juga,” sindirnya.

Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS) ini melanjutkan, kalau lembaga KPU menjalankan fungsi penyelenggaraan Pemilu dengan jujur, independen, transparan, murni, akuntabel dan konsekuen, maka sifat kerjanya harus seperti lembaga perbankan yang tidak mungkin dikeluhkan nasabah saat melakukan transaksi apapun. “Coba saja kita masukkan uang ke satu bank. Pasti kita lihat uang kita diambil, lalu dibukukan dan kita saksikan langsung hasilnya di buku tabungan. Nah, ibarat uang yang kita tabung tadi, faktanya sekarang lembaga KPU tidak kunjung berhasil menghormati atau membukukan suara rakyat yang diberikan saat Pemilu. Rakyat justru tidak yakin suaranya akan dihitung dalam setiap Pemilu tapi ragu karena raib entah kemana. Kalo sudah begini, mau kemana pesta demokrasi republik ini. Jangankan Timsel, KPU saja tidak pernah bersikap jujur seperti lembaga perbankan,” tegas Shohibul.  

Komisioner KPU dari Parpol

Oleh sebab itu, Shohibul menyarankan fungsi dan keberadaan komisioner KPU se-Indonesia dikembalikan lagi seperti tahun 1955 dan tahun 1999 sehingga benar-benar konsisten dan tidak pura-pura independen. Bila Parpol menjadi komisioner KPU, ujarnya lagi, tentulah sangat mustahil terjadi pencurian, penggelapan maupun manipulasi suara. “Ya siapa Parpol yang mau kalah? Pasti bacok-bacokan-lah mereka menjaga kepentingan masing-masing,” yakinnya. Sampai saat ini KPU dinilainya juga belum mampu memberi pelajaran politik berharga bagi rakyat Indonesia. Namun membuat warga negara kebingungan karena berbagai kecurangan yang terlihat dan dirasakan namun sangat sulit untuk dibuktikan. Baru-baru ini, kata Shohibul, ada survei yang dilakukan Universitas Indonesia (UI) dan beberapa pihak terkait tentang netralitas penyelenggaran Pemilu di Indonesia. KPU Sumut sendiri dibeberkannya mendapat angka dibawah 50 dari nilai tertinggi 100. Sementara menyangkut kejujuran perhitungan suara, KPU Sumut cuma memperoleh angka 9 dari skore tertinggi 100. Pemilu tahun 2014 pun diduganya akan menjadi bencana nasional demokrasi di Indonesia tatkala pihak pemerintah, Parpol, pemangku kepentingan dan stakeholder yang terkait masih saja enggan belajar dari ‘kekacauan’ Pemilu tahun 2009.

Ombudsman Sumut Harus Tuntaskan Temuan

Sebelumnya, seperti diberitakan MartabeSumut, Rabu (28/8/2013), Shohibul juga menyinggung kinerja Timsel KPU Sumut atas temuan pelanggaran yang diungkap Ombudsman RI Perwakilan Sumut. Shohibul menyatakan memberikan apresiasi tapi meminta Ombudsman Sumut tidak hanya pandai cerita di media melainkan membuktikan sampai ke akar-akarnya secara menyeluruh. Shohibul mengimbau Ombudsman Sumut agar jangan bekerja dengan dasar pengaduan semata, setengah-setengah apalagi ‘panas-panas tai ayam’. Pengaduan 3 orang calon yang gagal administrasi disebutnya harus dipandang Ombudsman merupakan representasi dari 47 calon lain yang digugurkan semenjak dini. “Temuan pelanggaran telah jadi bukti awal bahwa ada yang tidak beres saat seleksi pertama diumumkan Timsel KPU Sumut. Karena mereka tidak melampirkan ‘surat sakti penguasa’, bisa saja berkas 50 orang yang digugurkan sejak awal itu disingkirkan ke tong sampah tanpa pemeriksaan apapun,” ingatnya.

Pada sisi lain, wewenang dan mekanisme kerja yang dimiliki Ombudsman RI dipastikan Shohibul tidak semata-mata karena delik aduan. Melainkan berdasarkan informasi, berita, data atau fakta yang dilihat terjadi di masyarakat. “Yang tidak mengadu belum tentu tidak ingin mengadu. Ombudsman harus bisa menelusuri indikasi kecurangan lainnya. Periksa lagi berkas 122 calon KPU Sumut yang semenjak awal sudah diperlakukan tidak transparan. Kita tidak mau ada efek domino fatal saat Pemilu nanti karena Timsel KPU Sumut terbukti melakukan pelanggaran atau sudah cacat hukum dalam seleksi awal. Ombudsman berkewajiban menindaklanjuti secara menyeluruh dan apapun hasilnya kelak dari DKPP atau KPU Pusat harus diungkap secara terang benderang ke permukaan agar masyarakat bisa menilai,” pinta Shohibul.

Kinerja Timsel KPU Sumut Timbulkan Efek Domino Pemilu

Bila kinerja Timsel KPU Sumut buruk dan tidak mumpuni kepentingan publik, ujar Shohibul lebih jauh, sebaiknya segera dibubarkan atau diberhentikan karena menimbulkan efek domino yang fatal bagi agenda Pemilu kedepannya. Shohibul pun menyesalkan pihak-pihak terkait yang memberi rekomendasi dan mengangkat Timsel KPU Sumut. “Janganlah lantaran professor atau doktor, lantas dianggap sudah paham mekanisme sederhana terkait keputusan yang menyangkut publik. Belajarlah 5 anggota Timsel KPU Sumut itu lebih menghargai hak-hak demokrasi masyarakat, transparansi dalam kinerja dan akuntabilitas kebijakan dimata publik. Mereka ilmuwan yang sepatutnya tidak perlu didikte lagi soal prosedur standard sederhana semisal menghormati hak-hak 50 orang yang dinyatakan gugur seleksi. Pertanggungjawabkan keputusan dong dengan bukti yang bisa diakses publik. Periksa ulang berkas 72 orang yang lulus hingga yang dinyatakan tidak lulus 50 orang. Apalagi ternyata ada calon yang tidak lolos tapi diluluskan. Rugilah Indonesia membayar honor Timsel KPU Sumut kalau kinerjanya tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada publik secara benar dan terbuka. Timsel itu seharusnya transparan mengeluarkan setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan publik sebab memakai uang negara,” tutup Shohibul. (MS/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here