www.MartabeSumut.com, Medan
Kendati tidak terpilih lagi 5 tahun kedepan, toh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) periode 2014-2019 Sarma Hutajulu, SH (foto atas) tetap meletakkan harapan besar di pundak 12 legislator perempuan DPRDSU periode 2019-2024. Selain mendorong semangat “parle” (bicara) selaku wakil rakyat tanpa dibatasi perbedaan gender dengan kaum laki-laki, Sarma menuntut ke-12 perempuan DPRDSU aktif mendesak Pemprovsu menggolkan anggaran progam pemberdayaan perempuan dan anak berbasis kesetaraan gender.
Kepada www.MartabeSumut.com di gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan, belum lama ini, Sarma membeberkan, kelembagaan DPRDSU periode 2014-2019 diisi 16 wajah perempuan. Lalu ditambah 3 sosok baru berdasarkan mekanisme Pergantian Antar-Waktu (PAW) sehingga berjumlah 19 orang. Kurun 5 tahun menjabat, Sarma pun memastikan cuma dirinya yang berkesempatan menjabat pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPRDSU selama 1 tahun masa kerja. “Saya satu-satunya perempuan yang pernah menjabat Ketua Komisi A DPRDSU bidang hukum/pemerintahan pada tahun 2016. Tahun 2017 dipercaya kembali sebagai Sekretaris Komisi A DPRDSU. Mohon maaf, saya tidak bermaksud meremehkan teman-teman legislator perempuan lain. Namun ingin memotivasi 12 perempuan anggota DPRDSU yang kelak mewakili rakyat Sumut,” ujar Sarma. Politisi PDIP ini melanjutkan, bila diamati tingkat keterpilihan perempuan periode 2019-2024, jelas menimbulkan keprihatinan. Pasalnya, jumlah tersebut 12 persen dari 30 persen yang diamanatkan UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD serta UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Sehingga 100 kursi parlemen DPRDSU tidak memperoleh keterwakilan minimal 30 sosok legislator perempuan. “Saya rasa kegagalan Pempovsu dan Partai Politik (Parpol). Dinas Permberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sumut minim program pemberdayaan perempuan pasca-pencalegan Pemilu 17 April 2019. Pemprovsu punya andil besar loh dalam memunculkan perempuan sebagai Caleg. Sedangkan Parpol lalai menyusun program internal memotivasi perempuan untuk tampil. Kita belum bicara soal pemberdayaan susulan setelah seorang Caleg perempuan terpilih. Kita tidak mau perempuan minder, dibatasi gender, diam saja dalam sidang-sidang formal DPRD atau takut dikonfirmasi wartawan lantaran minus wawasan,” terang Sarma.
Wakili Hak Perempuan & Anak
Legislator asal Dapil Sumut IX Kab Taput, Kab Tobasa, Kab Samosir, Kab Humbahas, Kab Tapteng dan Kota Sibolga itu mengingatkan, 12 perempuan yang terpilih di DPRDSU harus mampu mewakili kepentingan perempuan maupun anak-anak. Hal tersebut bisa disuarakan melalui kebijakan, regulasi, kritik, pengawasan hingga menggolkan program termasuk politik anggaran. Sarma mengakui, 19 perempuan (plus PAW) anggota DPRDSU 2014-2019 memang belum maksimal mendesak Pemprovsu dan Parpol dalam meng-akselerasi program pemberdayaan perempuan/anak di Sumut. Sarma meyakini, menjadi politisi perempuan tidaklah mudah. Sebab sering diremehkan laki-laki bahkan dianggap tidak mampu. Walau fraksi dan partai kerap kurang memberi kesempatan, namun politisi perempuan diimbaunya tetap semangat, berani bicara terkait tupoksi dan khususnya berani berkompetisi memimpin AKD DPRD. “Semoga 12 perempuan yang terpilih di DPRDSU dilandasi kapasitas mumpuni. Bukan akibat coba-coba, daripada nganggur, politik aji mumpung, politik identitas, politik uang atau pengaruh bapaknya pejabat, mantan pejabat dan pengusaha besar,” sindirnya. Artinya, imbuh Sarma lebih jauh, hingga kini upaya penguatan kesetaraan gender belum kunjung dimaksimalkan Pemprovsu dan Parpol. Sementara keberadaan fraksi di DPRD juga selalu bias gender dan enggan memberi kesempatan sama.
Belajar & Sadar Kapasitas
Wakil Ketua Bidang Buruh DPD PDIP Provinsi Sumut masa bakti 2019-2024 ini memahami, tidak semua manusia memiliki kesamaan kualitas talenta, bibit, bebet, bobot, keberanian, pengalaman, pendidikan hingga tingkat pengembangan diri. Begitu pula proses keterpilihan seorang wakil rakyat yang bukan mustahil dilandasi “keganjilan” semenjak dini. Celakanya lagi, kata Sarma, ketika sosok “ganjil” tadi sudah terpilih, tetu saja publik kian mempertanyakan kapasitas dan kompetensi yang jauh panggang dari api. Tak heran, Sarma memastikan keberadaan wakil rakyat laki-laki dan perempuan seperti itu akan memperlihatkan perilaku sebatas datang, duduk, diam, dengar, duit, dengkur, kebingungan, keheranan, keminderan, ketidakmautahuan serta ketidak-pedulian terhadap tupoksi inti pengawasan, pembuatan regulasi serta penyusunan anggaan. Fakta ini pun diserukan Sarma kepada 12 perempuan anggota DPRDSU agar memperkuat kapasitas dengan cepat belajar dan cerdas beradaptasi. “Sadarilah kapasitas diri. Realitas sosok wakil rakyat tanpa kapasitas patut dipupus. Khusus perempuan, perjuangkan politik anggaran. Desaklah Dinas Pemberdayaan Perempuan/Anak dan Parpol supaya melakukan pembekalan atau Bimtek. Kami di PDIP Sumut punya program pembekalan Caleg perempuan dan anggota Dewan terpilih,” ungkapnya. Kedepan, fraksi dan Parpol diminta Sarma menyadari tanggungjawab moral mengawal indikasi praktik pembiasan gender di DPRD. Tapi setiap perempuan disarankannya lebih dulu mau mengubah mindset. Kemudian mau menyadari kapasitas, mau belajar, mau membenahi kekurangan sendiri dan mau menembus hambatan. Bagi Sarma, politik bertujuan menembus peluang dan kesempatan. Apalagi proses keterpilihan seseorang bisa saja mempengaruhi jabatan publik yang telah diraih. Sarma percaya, politik uang, politik identitas dan politik pengaruh kekuasaan keluarga belum tentu menghasilkan pejabat publik berkualitas. Sehingga rakyat menjadi sangat dirugikan karena tidak mungkin berharap banyak terhadap kualifikasi orang seperti itu. “Semua Parpol dan Fraksi DPRD pantas menyenter anggota Dewan yang tidak memiliki kapasitas atau tidak kompeten saat bertugas. Jangan lagi ada bias gender. Ubahlah frame berpikir. Ini tantangan besar kita kedepan,” tutup Sarma Hutajulu diplomatis. (MS/BUD)