www.MartabeSumut.com, Medan
Dugaan perkosaan yang dilakukan Tamat alias Babe (63) terhadap tetangga sendiri berujung kehamilan anak dibawah umur, sebut saja Bunga (13). Siswi Kelas 1 SMP Al-Maksum Desa Cinta Rakyat Kec Percut Sei Tuan ini hamil 2 bulan dan telah diungsikan orangtuanya dari kediaman Dusun 10 Desa Cinta Rakyat Kec Percut Sei Tuan. Sementara Babe diamankan aparat Polsek Percut Sei Tuan pada Sabtu sore (15/9/2018), pasca-warga Dusun 5 Desa Cinta Rakyat Kec Percut Sei Tuan itu diamuk massa. Derita Bunga dan kegalauan ibunya Susi (36) langsung mendapat perhatian serius dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) Jenny Riany Lucia Berutu, SH.
Dikonfirmasi www.MartabeSumut.com, Minggu sore (16/9/2018), Jenny mengaku prihatin mendengar masalah pelik yang dialami Susi selaku orangtua Bunga. Politisi Partai Demokrat tersebut meyakini, Susi mengalami dilema berat terkait kehamilan putrinya Bunga. “Digugurkan ada resiko, dilahirkan juga berdampak psikis panjang. Sebagai perempuan, saya sarankan Susi konsultasi ke pihak-pihak terkait. Mulai dari dokter, psikiater, panti asuhan hingga Pemprovsu yang menangani masalah perempuan/anak,” tegas Jenny melalui saluran telepon.
Konsultasi ke Dokter
Anggota Komisi B DPRDSU membidangi perekonomian ini merinci, Susi perlu membawa Bunga ke dokter dan bertanya secara terbuka. Sebab dokter bisa memeriksa kondisi kesehatan dan psikis Bunga melalui pemeriksaan/konseling khusus. Bila fisik dan psikis Bunga diyakini dokter mampu, maka akan ada saran agar Bunga melahirkan. Tapi bila Susi menolak dan meminta Bunga harus diaborsi, Jenny pun menilai sepenuhnya keputusan Susi dan keluarga. “Ya apa boleh buat. Intinya, jangan sampai menambah trauma bagi Bunga seumur hidup. Termasuk memunculkan masalah sosial kedepan. Jangan lantaran kalut, bingung, panik atau merasa aib keluarga, lalu kita cepat memutuskan menggugurkan. Resiko aborsi di usia belia seperti Bunga dapat membuatnya tak bisa melahirkan lagi selamanya. Bukan mustahil pula terjadi kerusakan rahim Bunga saat aborsi,” ingat Jenny, sembari membeberkan, dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali dengan alasan tertentu. Menurut Jenny, berdasarkan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, larangan aborsi dikecualikan lantaran indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, mengancam nyawa ibu/janin, menderita penyakit genetik berat/cacat bawaan serta sesuatu yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup di luar kandungan. “Atau, kehamilan seorang perempuan akibat perkosaan. Menyebabkan trauma psikologis panjang bagi korban kedepan,” terangnya.
Jenny menjelaskan, bila Bunga akhirnya akan diaborsi, tetap saja melalui konseling dan diakhiri tindakan analisis konselor kompeten/berwenang sesuai Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan. Jenny memastikan, sanksi untuk setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tanpa merujuk Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1 Miliar sebagaimana diatur Pasal 194 UU Kesehatan. Oleh sebab itu, simpul Jenny lagi, setelah diskusi dengan dokter, Susi sebaiknya membawa Bunga ke panti asuhan untuk melihat situasi serta berdialog dengan pengelola panti. Selanjutnya menemui psikolog, LSM pendamping anak/perempuan dan melapor ke kantor Gubsu yang menangani urusan anak/perempuan. “Silahkan konsultasi dan melapor kepada para pihak tersebut. Sebagai perempuan, saya membela anak ini. Saya mau katakan, terlepas dari keputusan melahirkan atau menggugurkan, yang paling penting Bunga didampingi terus dalam perawatan fisik, mental dan kejiwaan,” imbau Jenny. Bagi legislator asal Dapil Sumut XI Kab Tanah Karo, Kab Dairi dan Kab Pakpak Barat itu, Susi sebaiknya membiarkan Bunga melahirkan tatkala dokter memberi jaminan. Sebab hak asuh anak bisa diserahkan kepada panti asuhan atau keluarga yang tidak memiliki keturunan. (MS/BUD)