Narkoba bak Kacang Goreng di Indonesia, Shohibul: Tiap Rezim Permissive, Media Minim Investigasi

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan


Pengamat kebijakan publik Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, prihatin mengetahui penangkapan 8 anggota Kostrad TNI AD, 5 anggota Polri, 1 anggota DPR RI dan beberapa warga sipil di perumahan Kostrad Tanah Kusir Jakarta, beberapa hari lalu. Maraknya peredaran/penyalahgunaan Narkoba di penjuru Tanah Air bak kacang goreng, dinilai Shohibul lantaran pemerintahan (Negara) tiap rezim selalu bersikap permissive sedangkan kalangan media cenderung minim investigasi news memberi realitas kondisi kekinian kepada publik.

Jika ada orang yakin bahwa di Indonesia terdapat program pemberantasan Narkoba yang serius, kata Shohibul, maka dirinya curiga orang tersebut tidak begitu paham masalah. Bukan apa-apa, arah baru pemberantasan Narkoba di Indonesia disebutnya tidak terlalu jelas sebab landasan hukum yang dipakai dari satu rezim pemerintah ke rezim lain justru menemukan kecenderungan permissive. Buktinya, rinci Shohibul, maraknya peredaran Narkoba di kawasan hiburan seperti diskotek, seolah-olah diabaikan aparat penegak hukum alias pura-pura tidak tahu. Atau, aparat sebenarnya sangat tahu namun terkesan cuek dan menunggu kasus muncul lalu sibuk bertindak ibarat petugas pemadam kebakaran. Model kebijakan sikap aparat begituan diduga Shohibul akibat benturan kepentingan antara oknum aparat dan pengusaha hiburan nakal yang kerap rutin “setor angpaw” bulanan. “Semua masyarakat tahu betul kalau sikap permissive aparat dilandasi indikasi kuat praktik kolusi dan korup. Padahal rakyat Indonesia sangat menunggu gebrakan Kapolri Jendral Badrodin Haiti dan Kepala BNN Komjen Budi Waseso agar berani memerintahkan/menindak semua anggota Polri khususnya Kapolda, Kapolres dan Kapolsek di Indonesia supaya menolak setoran grativikasi dari pengusaha hiburan nakal. Berani gak Kapolri memerintahkan anggota Polri bila memang serius memberantas Narkoba,” cetus Shohibul kepada www.MartabeSumut.com, Minggu sore (28/2/2016). Kalau aparat penegak hukum tidak setuju dikatakan permissive memberantas Narkoba, Shohibul kembali mengusulkan agar Kapolri dan Kepala BNN membuktikannya dengan memberantas Narkoba lebih gilak lagi sesuai perintah Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas di Jakarta beberapa hari lalu. “Lebih gilak lagi dong berantas Narkoba. Jangan di bibir serius berantas Narkoba sementara anggota di daerah terima “angpaw” sehingga enggan bertindak tegas,” katanya. “Semua instansi lintas sektoral harus sama-sama memberantas penyalahgunaan Narkoba lebih gencar lagi, lebih gilak lagi dan lebih komprehensif. Tinggalkan ego sektoral sebab Narkoba telah jadi masalah ranking pertama bangsa kita,” singkap Shohibul lagi, menirukan kalimat Presiden Jokowi.

Inpres Tahun 1971

Shohibul membeberkan, sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai sejak tahun 1971 dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 tahun 1971 yang ditujukan kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 permasalahan nasional yang menonjol. Diantaranya pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan Narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi dan pengawasan orang asing. Berdasarkan Inpres ini, lanjut Shohibul, Kepala BAKIN membentuk Bakorlak Inpres tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya Narkoba. Terdiri dari wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung serta lembaga lain yang berada dibawah komando untuk bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. “Meski badan ini tidak punya wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN. Melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN. Namun substansi pandangannya terhadap Narkoba begitu serius sehingga dianggap jadi salah satu dari 6 ancaman nasional. Pada masa itu permasalahan Narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan cukup kecil,” terangnya.

Permasalahan Narkoba Kian Besar ?


Menurut Shohibul, mungkin saja permasalahan Narkoba terasa makin besar seiring dengan krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997. “Kelihatan pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap menghadapinya. Berbeda dengan negara-negara lain di sekitar kita semisal Singapura, Malaysia dan Thailand. Sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya Narkoba tanpa ampun,” akunya. Shohibul mencontohkan, 5 tahun lalu seorang teman dekatnya yang tinggal di Jakarta ingin meminjam uang untuk dipakai sebagai modal awal membiayai perkuliahan anaknya di Kuala Lumpur. Dia mengatakan, sang teman adalah dosen tapi justru menguliahkan anaknya kuliah di Kuala Lumpur yang tentu saja memerlukan dana lebih besar dibanding Jakarta. Shohibul menegaskan, temannya memiliki alasan lantaran Malaysia dianggap serius dan tidak permissive melakukan pemberantasan masalah Narkoba. “Jika pun anak saya kelak akan berkenalan dengan Narkoba di sana, itu akan saya terima sebagai takdir belaka yang dititipkan Tuhan Yang Maha Esa. Bukan karena negaranya tidak serius seperti Indonesia,” ucap Shohibul, mengulangi kalimat temannya tersebut.

Diungkapkan Shohibul, ketika tahun 2015 silam mantan Perdana Menteri Malaysia Dr Tun Mahathir Mohammad memberi ceramah di Medan atas undangan sebuah media, tokoh ASEAN tersebut sempat dicecar sebuah pertanyaan dari seseorang yang selama ini dikenal sebagai anggota Kadinda Sumut. “Ia mendakwa Malaysia sebagai salah satu pemasok Narkoba ke Indonesia. Ia juga menyatakan bahwa dari total uang beredar di seluruh dunia, dua pertiga adalah uang Narkoba. Rumus itu mungkin berlaku di Indionesia,” singkap Shohibul. Menanggapi pertanyaan tersebut, Dr Mahathir Mohammad disebut Shohibul tetap bersikap tenang memberi respon : “Saya kira kita sadar bahwa tidak ada satu Negara pun yang bebas dari masalah Narkoba”. Artinya, timpal Shohibul lagi, dengan sangat diplomatis Mahathir Mohammad melukiskan bahwa semua orang akan memilih sikap solidaritas atas maraknya peredaran Narkoba di belahan dunia. “Sebagaimana layaknya sesama pasien yang sedang dirawat di satu rumah sakit,” ujar Shohibul.

Konstruksi Hukum Tiap Rezim Permissive

Dosen Sosiologi Politik Fisip Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan ini berkeyakinan, jika diperbandingkan konstruksi hukum pemberantasan Narkoba dari satu rezim pemerintah ke rezim berikut, maka dirinya menemukan kesan bahwa Negara semakin permissive. Ironisnya, kondisi kekinian malah memunculkan pemanjaan terhadap kalangan pecandu. Mereka malah jadi prioritas negara berkedok rehabilitasi tanpa peduli segala macam konsekuensi. Sementara bagi masyarakat dan kelompok lain juga sangat sukar dijejaki. “Negara mementingkan rehabilitasi. Berapa biayanya? Rakyat mana yang memiliki akses ke situ? Apa kalangan artis saja atau bisakah anak tukang becak direhabilitasi juga? Apa pula kewajiban tak tertulis dari pecandu yang direhabilitasi,” sindirnya.

Kritik Media yang Tidak Investigatif

Pada sisi lain, Shohibul mengkritik peran institusi Pers dan media yang diamatinya kurang melakukan investigasi news kasus-kasus Narkoba. “Media mainstream pun tidak pernah berminat melakukan investigasi sendiri karena mereka memilih puas mendapatkan data yang akan diberitakan dari pihak kepolisian saja. Hampir tak pernah saya baca berita media (tentang Narkoba) yang didasarkan bukan pada Press Conference kepolisian saat mereka menemukan barang bukti dan atau saat ada tangkapan,” sesalnya. Shohibul menjelaskan, hal serupa terjadi juga tatkala ada aksi bersama yang dijadwalkan kepolisian untuk pemusnahan barang bukti. “Di sana ada kata-kata sambutan dan giliran tindakan dalam seremonial pemusnahan. Di luar kesadaran rakyat, arus berita-berita seperti ini kerap sangat memukau pembaca. Sebab gambar tokoh-tokoh ternama dan tumpukan barang bukti ditampilkan pada halaman-halaman utama pemberitaan media dengan keseragaman lead, angle maupun content,” herannya.


Tidak sampai di situ. Hingga kini, media massa juga dinilai Shohibul kurang cermat menggunakan istilah kata seperti bandar Narkoba, gembong Narkoba dan sejenisnya. Realitas tersebut memposisikan pemahaman masyarakat terhadap kedua terminologi bermakna induk jaringan, pemasok utama dan penentu peredaran Narkoba. “Masyarakat heran. Mengapa setiap hari ada bandar padahal yang ditangkap kelas teri pemakai? Mengapa setiap hari ada gembong? Di Medan ada hasil penggerebekan 3 Kg Sabu Sabu, itu sesuai pemberitaan awal media. Beberapa hari kemudian Sabu Sabu 3 Kg tersebut sudah berubah jadi garam inggris. Jangan dianggap rakyat tidak bertanya dan tidak bingung. Media tak pernah memberi jawaban sesuai inquiry mind yang sehat dari masyarakat,” ingatnya. Logikanya, simpul Shohibul lebih jauh, karena data yang diberitakan media tidak diperoleh dari sumber primer, tentu saja masyarakat umum tidak mungkin tahu keadaan sesungguhnya. Apalagi warga hanya bisa paham indikasi-indikasi berupa gambaran puncak gunung es kasus Narkoba. “Itu karena media secara umum tidak lagi taat pada peran dan fungsi terbaiknya sebagai sosial kontrol,” yakin Shohibul. (MS/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here