www.MartabeSumut.com, Medan
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal melalui Ketua KSPI Sumut Minggu Saragih SH, menolak revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Hari Tua (JHT) yang setengah hati dan terkesan asal-asalan. Kemudian menyesalkan pernyataan Menaker dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan “bahwa revisi PP JHT dinyatakan untuk buruh yang ter-PHK dapat langsung mengambil dana JHT tapi bagi peserta aktif harus menunggu 10 tahun untuk bisa mengambil 100% dari saldo JHT dan sisanya diambil saat usia 56 tahun”.
“Bila revisinya mengatur pekerja yang ter-PHK saja boleh mencairkan JHT, maka bisa dipastikan akan ditolak kembali oleh masyarakat karena tidak menyelesaikan 3 essensi masalah yang di protes dari PP tersebut dan akan mempermalukan Presiden Jokowi untuk kedua kalinya,” kata Minggu Saragih, melalui keterangan Pers yang diterima www.MartabeSumut.com, Minggu (5/7/2015). Dimana, lanjut Minggu, yang pertama Presiden Jokowi sudah “dipermalukan/dijebak” sebab PP baru 1 hari ditandatangani presiden dan belum diimplementasikan tapi harus direvisi akibat kelalaian Menaker akibat menuai protes masyarakat/buruh.
Tiga Essensi Revisi PP
Menurut Minggu, ke-3 esensi masalah yang harus masuk dalam revisi adalah : Pertama, waktu kepesertaan yang bisa mengambil JHT setelah 10 tahun dan saat usia 56 tahun. Masyarakat/buruh disebutnya tidak setuju karena waktu pengambilan yang terlalu lama/panjang padahal JHT sebagai tabungan buruh sangat dibutuhkan ketika ada kebutuhan mendesak. Jadi dalam revisi PP-nya dikembalikan ke aturan lama yaitu dana JHT dapat diambil setelah 5 tahun kepesertaan (baik peserta aktif maupun yang ter-PHK). Kedua, nilai dana JHT yang bisa diambil hanya 10 % dari saldo JHT atau 30 % dari JHT untuk perumahan dan sisanya diambil saat usia 56 tahun. Hal itu juga dinilainya ditolak masyarakat luas sebab ingin dana JHT diambil sekaligus 100 % dari saldo JHT (lump sum). Karena diambil bertahap, lanjutnya, maka uang JHT tidak bermanfaat bagi buruh sehingga dalam revisi PP harus menegaskan bahwa dana JHT dapat diambil sekaligus 100 % (lump sum) dari saldo JHT setelah 5 tahun masa kepesertaan. Sementara tentang alasan JHT sebagai tabungan hari tua, diakui Minggu tidak dibutuhkan lagi. “Sekarang buruh sudah punya program jaminan pensiun sebagai tabungan hari tuanya (dulu jaminan pensiun belum ada). Sedangkan JHT cukup sebagai tabungan jaring pengaman bagi buruh yang dapat diambil setelah kepesertaan 5 tahun (bukan 10 tahun)oleh buruh ter-PHK atau peserta aktif. JHT adalah uang tabungan milik buruh yang diberikan secara lumpsum/sekaligus, beda dengan jiwa jaminan pensiun yang diberikan secara anuitas/bertahap tiap bulan saat memasuki usia pensiun 56 tahun,” ingatnya.
Ketiga, PP JHT bukan direvisi hanya untuk buruh yang ter-PHK saja sehingga boleh mengambil langsung dana JHT. Dalam konteks ini, Minggu pun mempertanyakan bagaimana dengan buruh yg mengundurkan diri, bagaimana dengan 20 juta buruh kontrak/outsourcing yang habis kontraknya (mereka bukan ter-PHK), bagaimana dengan buruh kontrak/outsourcing yang putus kontrak sementara dan mereka disuruh tunggu 1-2 tahun dan bagaimana dengan karyawan tetap yang dirumahkan berkepanjangan. “Padahal mereka semua itu juga mau ambil dana JHT mereka sendiri (status mereka tidak ter-PHK). Jadi dalam revisi PP harus jelas bahwa yang bisa mengambil saldo JHT bukan hanya orang ter-PHK saja tapi peserta aktif juga bisa mengambil saldo JHT sekaligus 100 % asalkan memenuhi masa kepesertaan 5 tahun seperti aturan lama,” terangnya.
Tolak Revisi PP
Oleh sebab itu, timpalnya lagi, kalau Menaker merevisi PP JHT dengan mengatur saldo JHT yang hanya bisa diambil oleh orang ter-PHK saja namun peserta aktif tidak bisa mengambil karena harus ikut aturan PP, maka KSPI, GBI dan buruh Indonesia menolak tegas isi revisi PP tersebur. “Kami tetap melakukan judicial review ke MK serta mogok nasional,” cetus Minggu Saragih. Pada sisi lain, revisi PP JHT dimintanya harus memuat konsiderans : “Dana JHT dapat diambil oleh buruh (baik peserta aktif maupun ter-PHK), Dana JHT dapat diambil setelah masa kepesertaan 5 tahun (bukan 10 tahun dan bukan saat usia 56 tahun) serta Dana JHT diambil secara lump sum/100 % sekaligus (bukan 10 % dari saldo dan sisanya bukan saat usia 56 tahun)”. Dengan demikian, imbuhnya, Pasal 37 (3) UU No 40/2004 sebaiknya ditunda dulu pemberlakuannya. “Misalkan saja 10 tahun lagi, kalau perlu pasal tersebut diamandemen sampai sosialisasinya sesuai dengan kondisi masyarakat/buruh Indonesia,” tutupnya. (MS/DEKS)