www.MartabeSumut.com, Medan
Praktisi hukum Julheri Sinaga, SH (foto) angkat suara seputar pernyataan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo terkait tuduhan terhadap pihak-pihak yang menolak sertifikasi wartawan melalui ujian kompetensi wartawan (UKW) adalah bukan Pers. Julheri menilai, kalimat Ketua Dewan Pers itu telah mengangkangi asas praduga tak bersalah.
Kendati menyebut komentar tersebut lepas delik alias tidak bisa digugat karena bukan menyasar wartawan, media massa dan organisasi Pers, toh Ketua Dewan Pers disebut Julheri mengarahkan kalimat kepada insan Pers yang selama ini praktis menjalankan profesi Pers tapi belum ikut UKW. “Mana mungkin pihak yang dimaksud adalah pedagang, tukang becak atau PNS. Saya rasa kalimat itu kurang bijak dan tidak mengayomi. Pernyataan Ketua Dewan Pers tidak sesuai mekanisme hukum dan etika berbicara di depan publik. Dia sudah mengangkangi asas praduga tak bersalah,” sindir Julheri, saat dikonfirmasi www.MartabeSumut.com, Kamis siang (31/1/2019) di Medan.
Dewan Pers Introspeksi Diri
Pengacara tergolong vokal ini melanjutkan, Indonesia merupakan negara hukum yang berjalan sesuai aturan berlaku. Bila persoalan UKW telah menjadi sorotan kritis sebagian wartawan di Indonesia, Julheri memastikan harusnya Ketua Dewan Pers introspeksi secara pribadi dan kelembagaan. Bukan malah bermain kata-kata padahal terindikasi kuat menyerang wartawan yang belum UKW sebagai pihak yang bukan Pers bahkan dituduh penolak UKW. Julheri mencontohkan, sebelum sebutan UKW muncul beberapa tahun silam, banyak wartawan yang dikenali kompeten menjalankan profesi sejak puluhan tahun lalu. Artinya, terang Julheri lagi, mayoritas wartawan tersebut menyatakan tidak menolak UKW tapi menyesalkan sistem rekrutmen peserta UKW yang didesain Dewan Pers cenderung beraroma KKN dan tidak transparan kepada publik (wartawan). Sehingga realitasnya diduga berorientasi primordial dan koncoisme dengan mengedepankan pola-pola rekrutmen peserta dari kelompok tertentu saja. Celakanya lagi, imbuh Julheri, Dewan Pers justru memunculkan kebijakan diskriminatif terhadap wartawan yang belum UKW melalui selebaran, surat hingga imbauan provokatif kepada lembaga, sipil, negeri, swasta serta aparat negara. “Gak boleh begitu dong. Saya jamin wartawan bukan tidak mau atau menolak UKW. Tapi mereka belum diberi kesempatan yang adil,” cetusnya. Julheri pun mempertanyakan kredibilitas sosok Ketua Dewan Pers apakah tergolong wartawan aktif, pemilik media massa, aktivis organisasi Pers atau cuma orang titipan yang dijadikan tokoh masyarakat supaya memenuhi unsur formal Pasal 15 ayat 3 UU No 40/1999 tentang keanggotaan Dewan Pers. Sebab, apa yang disampaikan Ketua Dewan Pers dianggap Julheri melanggar HAM, merampas hajat hidup orang banyak serta menghancurkan iklim demokrasi dan kemerdekaan Pers. “Apa sudah diberinya kesempatan adil buat semua wartawan di Indonesia sehingga dia seenaknya bicara begitu ? Saya berani pastikan, teman-teman wartawan tidak menolak UKW. Jadi tidak masuk akal kalimat yang diucapkan Ketua Dewan Pers itu. Sadar gak Dewan Pers, sistem rekrutmen peserta yang diterapkannya tidak transparan ? Saya yakin di situ sumber masalahnya. Kalimat Ketua Dewan Pers jelas tidak bijak, tidak mengayomi komunitas Pers dan tidak menghormati asas praduga tak bersalah,” heran Julheri. Kalau benar Dewan Pers punya sistem rekrutmen peserta UKW yang transparan atau telah memberi kesempatan luas/terbuka, kata Julheri, niscaya wartawan berbondong-bondong mendaftarkan diri dan bukan malah ujug-ujug membuat kebijakan latah verifikasi media masa/organisasi Pers dan UKW yang sekarang diributkan banyak wartawan. Dia menganalisa, kebijakan Dewan Pers berbau oligarki karena memaksakan kekuasaan secara total dengan mengandalkan kelompok elite tertentu yang jadi pendukungnya. Sehingga kental menerapkan kebijakan diskriminatif berdasarkan status, kroni-kroni bahkan kasta tertentu. “Inilah wujud pola-pola lama mempertahankan status quo era Orde Baru. Pemaksaan format korporatis atau sistem wadah tunggal,” cecar Julheri.
Kompetensi Dewan Pers Dipertanyakan
Pada sisi lain, Julheri berkeyakinan, bila ada kelompok wartawan, organisasi Pers, media massa atau terutama lembaga seperti Dewan Pers yang dibiayai rakyat dari APBN mengeluarkan pernyataan tidak sesuai aturan/ketentuan, maka wajar saja publik mempertanyakan kompetensinya. Walau pernyataan Dewan Pers itu bersifat luas dan tidak menunjuk siapapun, namun Julheri percaya hal tersebut sangat tidak etis sebab mengangkangi asas praduga tak bersalah yang diatur dalam KUHAP. “Seolah-olah Dewan Pers ini hakim ya ? Apa dia tahu wartawan yang belum UKW itu memang benar menolak UKW ? Hakim saja tidak ujug-ujug buat keputusan dan menghakimi terdakwa sebelum lihat bukti-bukti. Ketua Dewan Pers kok tidak bijaksana ? Buat statemen jangan seenaknya. Dewan Pers patut sadar, apakah selama ini sistem rekrutmen peserta UKW telah disosialisasikan secara baik ke semua wartawan dan bukan ke kroni-kroninya saja ? Kan tidak semua wartawan masuk organisasi Pers tertentu ? Itu hak asasi yang diatur Pasal 28 UUD 1945,” tegasnya dengan nada tinggi. Bagi Julheri, Ketua Dewan Pers seyogianya mengayomi wartawan dan bukan memposisikan lembaga jadi momok terhadap wartawan, media massa dan organisasi Pers di Indonesia. Ketua Dewan Pers diimbau Julheri tidak merampas hajat hidup orang banyak, tidak melanggar HAM, tidak menghancurkan iklim demokrasi dan khususnya tidak blunder menghancurkan kemerdekaan Pers lantaran melanggar UU No 40/1999 tentang Pers. Andaikan negara dan konstitusi saja sudah mengakui suatu lembaga, organisasi Pers, wartawan dan media massa sesuai perizinan aturan, Julheri pun tak habis fikir mengamati kiprah Dewan Pers yang justru sering bersikap melampaui kewenangan UU. “Saya contohkan lagi organisasi Pers dan perusahaan media massa. Didirikan mandiri oleh masyarakat melalui payung hukum akte notaris. Apa seenaknya mau mem-verifikasi suatu organisasi Pers dan media massa bahkan menuding tidak kompeten ? Hebat sekali ya Dewan Pers bisa melampaui UUD 1945. Terlalu berlebihan,” ucap Julheri blak-blakan. Oleh sebab itu, semenjak dini, Julheri menyarankan wartawan, organisasi Pers dan perusahaan media massa membuat LP ke kantor polisi bila menemukan kebijakan Dewan Pers, organisasi Pers tertentu bahkan instansi negara/swasta yang merugikan profesi wartawan, media massa dan berbagai organisasi Pers lainnya. “Kan bisa saja mereka melanggar UU ITE, fitnah dan pencemaran nama baik. Saya dengar Dewan Pers aja sedang digugat di Jakarta. Jadi jangan merasa benar sendiri dong walau kelembagaan Dewan Pers disahkan Keppres. Jangan sombong meremehkan organisasi yang menggugat dengan sebutan apa dasarnya dan siapa yang mengelola. Kalo organisasi itu resmi punya badan hukum, apa tak bisa menggugat ya bos. Rakyat jelata saja bisa menggugat,” sesal Julheri. Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, pihak-pihak yang menolak sertifikasi wartawan melalui ujian kompetensi wartawan (UKW) berarti bukan Pers. Pernyataan itu disampaikan Adi Prasetyo di Hotel Aryaduta Medan, Selasa (29/1/2019). (MS/BUD)