MartabeSumut, Medan
Budiman Pardede, S.Sos, salah satu Jurnalis di Harian BERSAMA terbitan Medan, kala itu, pernah membedah sosok Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi, Dosen Sosiologi Politik Fisip UMSU Medan pada Selasa 12 Oktober 2010. Selang 6 hari setelah tulisan profile berjudul “Kritis nan Realistis” terbit di koran, pada Senin 18 Oktober 2010 Shohibul Anshor Siregar langsung membalas tulisan dan menilai kiprah Budiman Pardede pada BLOG nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya) link: https://nbasis.wordpress.com/2010/10/18/merenungi-perjanalan-hidup/ . Tulisan serupa tentang sosok Shohibul Anshor Siregar juga pernah dimuat di Media Online KRITIS & REALISTIS www.MartabeSumut.com edisi Minggu, 3 Juni 2012 | 16:00 WIB. Link : http://martabesumut.com/sosok-24-kritis-nan-realistis.html
Perlu diketahui, kendati sudah 5 tahun berlalu, toh balasan penilaian Shohibul Anshor Siregar terhadap kiprah Budiman Pardede menjadi menarik diungkap ke publik semata-mata disebabkan 2 hal menarik. Pertama, tulisan Shohibul Anshor Siregar di Blog nBASIS tersebut baru terpantau secara tidak sengaja melalui mesin serachingGoogle pada hari Minggu 5 April 2015. Kedua, sebagai Jurnalis, sejak lama -hingga kini, Budiman Pardede kerap mewawancarai Shohibul Anshor Siregar selaku narasumber menyangkut berbagai topik update (menarik terkini) yang terjadi di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) bahkan menggeser beragam issu Nasional ke tingkat lokal untuk dijadikan bahan berita. Namun awalnya sekira pertengahan tahun 2009, hal menarik yang pantas diungkap antara Jurnalis dan Narasumber itu terjadi dalam untaian panjang waktu hampir 1 tahun tanpa ada pertemuan, perkenalan atau tatap muka fisik 1 kali pun. Setiap wawancara hanya dilakukan melalui telepon atau pesan singkat SMS saja. Sedangkan semua hasil wawancara yang diterbitkan di koran tidak jarang memunculkan kritik konstruktif atas pemberitaan sebab bernunasa komentar panas dan cerdas dari sang narasumber. Tatkala seorang Jurnalis seperti Budiman Pardede menjalankan tugas-tugas profesional jurnalistik atas nama institusi PERS yang mengedepankan fungsi kontrol, pendidikan, informasi serta sarana demokrasi, saat itu pula seorang narasumber bernama Shohibul Anshor Siregar tampil membawa suara-suara pembaruan sakral bagi pemberitaan PERS. Artinya: ketika relasi antara Jurnalis dan Narasumber yang tidak saling kenal fisik dalam kurun waktu lama tapi punya idealis (semangat) sama menghadirkan aspirasi pencerahan-pencerahan publik, saat itu pula terungkap fakta bahwa kiprah Jurnalis tidak dibatasi waktu dan ruang sepanjang dilakukan secara bertanggungjawab, beretika serta mengedepankan kode etik.
Berikut petikan lengkap tulisan Shohibul Anshor Siregar terhadap kiprah Jurnalis Budiman Pardede (Senin 18 Oktober 2010) :
Seorang jurnalis yang bekerja pada harian lokal Medan sudah menjadi teman berdiskusi paling tidak sejak setengah tahun lalu. Tetapi anehnya, meski ia selalu memuat hasil perbincangan itu pada media tempatnya bekerja, kami sama sekali belum pernah bertemu. Memang bukan hanya dia jurnalis lokal yang sering mewawancarai saya dan sama sekali tidak pernah bertemu secara langsung. Seorang pewawancara dari sebuah Radio di Yogyakarta pun demikian.
Belum lama ini ia minta bertemu dan ingin wawancara. Tetapi kali ini begitu sulit memberi jawaban karena ia ingin menulis hal-hal yang pribadi. Tahun lalu seorang penulis produktif juga menulis tentang saya di blognya. Orang ini sama sekali tak memerlukan wawancara yang serius, melainkan hanya melakukan telaahan dari bahan-bahan tertulis dan wawancara kepada orang-orang yang diketahuinya dekat dengan saya (tetapi saya tidak tahu wawancara itu).
Entah kenapa ada rasa “takut” berkaca (jika tulisan mereka itu bisa disebut sebagai cermin khusus). Keengganan untuk diwawancarai itu bersumber pada sebuah “rasa takut”. Takut menjadi narcis, di antaranya. Memang saya tidak membiasakan diri membaca hasil wawancara saya dengan media. Kebanyakan teman-temanlah yang memberitahu sambil di antaranya ada yang bertanya ketika wawancara saya dimuat media. Tetapi lain halnya jika artikel, saya akan berusaha membacanya setelah diterbitkan karena sering akan saya perbaiki lagi untuk keperluan lain.
Budiman Pardede Nama Jurnalis Itu
Budiman Pardede nama jurnalis itu. Ia seorang intelektual dan memiliki ketajaman dengan karakter yang kuat. Ketika ia memberitahu lewat sms tentang tulisannya, saya tak membalas hingga hari ini saya lihat email darinya berupa pemberitahuan dengan lampiran naskah yang ia tulis, demikian tulisannya:
Kritis nan Realistis
Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi
Dosen Sosiologi Politik Fisip UMSU Medan
Suka blak-blakan dan bersemangat saat bicara. Kritis menganalisis namun tetap realistis. Bila suatu waktu dia berkomentar, maka Drs Shohibul Anshor Siregar, MSi (54) bakal bikin orang bergetar.
Anda tak percaya dan menilai lead di atas sebatas seni redaksional semata? Sebaiknya jangan ! Karena faktanya, nama Shohibul bukan lagi asing dalam blantika kelompok pengontrol di daerah Sumut. Sosoknya pun kental mengkristal disebabkan kelantangan gagasan-gagasan yang kerap berseberangan dengan penguasa. Sebagai Dosen Kopertis (PNS) yang diutus mengajar ke Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan sedari tahun 1989, sepak terjang Shohibul di luar kampus tidak sedikit menimbulkan decak kagum berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat, aparat, birokrat, pejabat, konglomerat atau mungkin golongan “penjahat”. Apalagi, geliat Shohibul tak ubahnya seperti idealis seorang jurnalis “pure” yang selalu skeptis menyiasati berbagai hal. Bahkan untuk mewawancarainya saja sempat beberapa kali “tersandung” kesesuaian waktu.
Namun semua dapat dimaklumi mengingat kapasitas struktural dan fungsional yang diemban serta kepadatan rutinitasnya. Jadi tidaklah terlalu berlebihan rasanya bila pertemuan dengan Shohibul pada di salah satu cafe Plaza Medan Fair, beberapa waktu lalu, itu menorehkan kesan teramat dalam. Bukan apa-apa, memori face to face sore itu tergolong unik setelah 5 bulan lebih terlibat komunikasi “maya” melalui fasilitas telepon, milis internet hingga e-mail. Namun patut diketahui, penilaian dan penetapan Shohibul sebagai narasumber rutin selama ini juga bukan sesuatu yang tidak beralasan. Artinya, kendati belum pernah bersua sebelumnya, toh figur idealis Shohibul telah diaminkan kredibel dan koperatif untuk stand by berbagi pemikiran. “Maaf ya, sekian lama kita berbincang-bincang melalui telepon tapi baru sekarang berjumpa,” sapanya akrab kepada Jurnalis Harian BERSAMA Budiman Pardede, mengawali percakapan, Minggu sore (10/10/2010) pada salah satu Mall di Medan.
Kritikan Tajam
Cerita di atas sengaja dituangkan semata-mata ingin mengatakan bahwa untuk mengenali pria yang akrab disapa “Bang SAS” ini bukan pula sesuatu yang sulit. Pikiran-pikirannya dapat diikuti dengan cara membaca kolom opini di koran-koran terbitan lokal. Selain tulisannya ringan dan enak dibaca, pesan yang disampaikan Shohibul selalu mengembangkan tataran pemikiran bernuansa kritik tajam. Berpihak terhadap kepentingan kaum marginal melalui sorotan konstruktif atas berbagai ketidakadilan. Belum lagi terkait pendalaman nilai suatu berita dalam kapasitasnya sebagai narasumber. Maka untuk semua itu, kompetensi Shohibul sebagai golongan kritis maupun penggiat jurnalistik tak lagi diragukan dan pantas diberi label wah. Bahasa sederhananya, Shohibul tidak senior karena uban di kepala, usia raga atau sebatas jabatan dan kepangkatan belaka. Melainkan karena karya dan kreativitasnya! Opini ini tegas dialamatkan padanya manakala kemauan berkomentar dan menulis bukan semata-mata karena diminta. Tapi proaktif menyalurkan tatkala muncul fenomena menarik. Itulah sebabnya, semenjak dini, patut diakui secara jujur kalau sikap kritis dibarengi skill menulis yang ada tidaklah banyak dimiliki tokoh akademisi bahkan orang-orang yang menyebut diri sebagai insan Pers. Begitulah kira-kira gambaran yang tertangkap saat bersama Shohibul. Sosoknya terbuka, tenang dan berbalut pribadi matang. Ada kesan cerdas dan lugas menggegas aktivitas dalam skala prioritas. Bisa diduga, sepertinya strategi itulah yang dijadikan Shohibul sebagai kekuatan mensinergikan semua urusan pekerjaan, keluarga dan bidang lain. “Biasa ajalah, kita punya kewajiban pengabdian pada akademis. Lalu mengkombinasikan dengan kondisi rakyat dan kebijakan-kebijakan pemeritah,” ujar pria kelahiran Tarutung, 14 Maret 1958 itu merendah.
Pendidikan
Lahir dan besar dalam didikan ayahnya yang guru, buah pernikahan Abdullah (Alm) dan T br Pasaribu (Alm) ini menghabiskan masa kecil dan pendidikan di Tapanuli Utara (Taput). Pendidikan dari Sekolah Rakyat (SR) Sibulan-bulan Pahae Taput diselesaikan Shohibul tahun 1970. Kemudian melanjut ke bangku studi setara SMP selama 4 tahun di PGA Peanornor Taput hingga lulus tahun 1974. Namun karena sedikit “nakal”, kala itu, Shohibul harus pindah ke PGA Padang Sidempuan. “Saya tamat dari sana tahun 1976,” kenang anak ke-5 dari 10 bersaudara tersebut. Kendati masih belia, kata Shohibul, berbeda haluan dan menentang pendapat teman-teman sebaya selalu muncul bila melihat ketidakadilan. “Saya diam, tapi menolak. Lalu berfikir keras mencari jalan mewujudkan protes,” singkapnya. Shohibul mengungkapkan, awalnya ingin meneruskan studi pendidikan tinggi dengan pilihan jurusan teknik atau hukum. Tapi karena pada masa SLTA begitu “liar” hingga tak selesai secara normal, maka dia mengalami sedikit kesulitan dalam melanjutkan studi. Pada tahun 1977 Shohibul memutuskan untuk hijrah ke Medan. Setelah berdomisili beberapa lama di Medan, akhirnya hati Shohibul tertambat di UMSU. Predikat sarjana muda dituntaskannya kurang lebih 4 tahun dengan menyandang gelar Bachelor of Social Work (BSW) tahun 1982. “Pada tahun yang sama saya mendapat anugerah sebagai mahasiswa teladan se-Kopertis wilayah I (Aceh, Sumut, Sumbar dan Riau),” cetusnya berbinar-binar.
Shohibul tidak puas apalagi sekadar membusungkan dada. Dia kembali belajar dan menyelesaikan studi sarjana lengkap serta berhak menyandang titel “Drs” di tahun 1986. Suami dari Rosmadana (42) ini memang pantas diacungi jempol. Bukan apa-apa, setelah resmi meraih gelar sarjana lengkap, aktivitas di organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan tetap terus digeluti. Diantaranya sebagai Ketua Umum DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sumut masa bakti 1986-1988. Sejalan dengan kegiatan tersebut, Shohibul juga membaktikan ilmu sebagai asisten dosen di kampus tempatnya belajar. Bidang studi yang diajarkan Shohibul tidak jauh dari Sosiologi Umum dan Sosiologi Khusus. “Pertama sekali mengajar, saya mengasuh mata kuliah Social Problem di kampus. Saya menjadi asisten Mansyur Syam, SH, yang kala itu menjabat Dekan. Lalu tahun 1987 pernah juga mengajar di USU Medan dengan mata kuliah Sosiologi Pembangunan dan Seminar Penelitian,” beber bapak dari Ikhtiar ZN Siregar (23), Tondi AB Siregar (22), David Barkah Siregar (20) dan Ijthiad Siregar (16). Menurut Shohibul, beberapa tahun kemudian dirinya terpaksa berhenti mengajar di USU. Berpamitan kepada sang Dekan Prof Adham Nasution yang sejak awal menugasi. “Saya harus berhenti dari USU karena ditugasi sebagai dosen PNS oleh Kopertis Wilayah I,” terangnya.
Karir PNS
Menelisik kiprah Shohibul lebih dekat memang tidak akan ada habis-habisnya. Tanpa terasa momen “berkombur ria” dengannya saja telah memakan waktu 5 jam. Kendati demikian, kuat dugaan, dia memang tipikal orang yang bersemangat tinggi dan ahli mengembangkan potensi diri. Bukti itu tersibak dari ceritanya setelah 3 tahun aktif di UMSU dan menangkap peluang besar dalam seleksi penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kala itu, dia mencoba dan tak mau ketinggalan berkompetisi. Shohibul lulus dan resmi mengawali karir PNS sebagai Dosen Kopertis penempatan tugas di UMSU Medan sejak tahun 1989. “Senang juga sih,” ujar pria bertinggi 161 Cm dengan berat 60 Kg. Merasa nyaman dengan kehidupan ilmiah, Shohibul memutuskan menggali ilmu lagi ke jenjang Magister. Studi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta jurusan Sosiologi dirampungkannya tahun 1996 dengan gelar Master of Science (MSi).
Suara-suara Pembaruan
Kini Shohibul bertekad untuk terus berjuang meneriakkan suara-suara pembaruan berdimensi kritis dan realistis. Hal itu diyakininya akan dilakukan sendiri-sendiri atau kolektif melalui organisasi dan lembaga sosial masyarakat yang digeluti. Sebut saja sebagai Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (nBASIS) yang berdiri tahun 1999. Kemudian menjabat Koordinator Daerah Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) periode 2008-2010 hingga dalam kapasitas sebagai tenaga ahli bidang Sospol DPRD Sumut. Waktu Abdul Wahab Dalimunthe menjadi Ketua Golkar Sumut, kata Shohibul, dirinya sempat dipercaya menjadi salah seorang anggota tim intelektual partai pohon beringin tersebut. Pengalaman lain pun disebut dia masih ada diantaranya masuk dalam fungsionaris Baitul Muslimin Indonesia (BMI) hasil bentukan PDIP. “Tolong dicatat, beberapa waktu lalu saya pernah sangat serius mengkritisi dan menelaah betapa sulitnya memuluskan perubahan sosial disebabkan peran local big boss.” cetus Shohibul, seraya menyebutkan tulisannya berjudul “Olo Panggabean” dimuat salah satu harian lokal terbitan Medan dalam 4 edisi. Lalu, apa target Anda kedepan? Pria yang berdomisili di Jalan Cenderawasih III Perumnas Mandala Medan itu justru tersenyum di kulum. Sembari menarik hisapan rokok, Shohibul menyatakan kesiapan untuk terus bersuara kritis tatkala kondisi rakyat terlihat miris. Baginya, pemikiran realistis yang berpihak kepada rakyat merupakan idealis luhur yang akan dimaksimalkan selama hayat di kandung badan. Selamat Berjuang Bang SAS ! (Budiman Pardede)
Cermin itu
Sedikit banyaknya jurnalis Budiman Pardede telah mengungkapkan beberapa hal yang bisa menjadi cermin untuk diri sendiri. Tetapi tak kurang besarnya perasaan tak enak karena setelah mengulang beberapa kali membaca tulisannya ini menjadi amat tak jelas apakah ini sebuah sikap narcisme. Ketika orang semakin berani menunjukkan keakuan dan semakin menikmatinya, tentu itu sebuah masalah besar. Jangan-jangan kuping bisa menjadi tak mendengar dan mata tak menjadi alat penglihatan yang objektif. (MS/RED)