Kebijakan Negara Berdampak Hilangnya Tanah Masyarakat Adat Desa Pandumaan & Desa Sipituhuta Sumut

Bagikan Berita :

MartabeSumut, Medan

Kebijakan Negara telah berdampak pada hilangnya tanah kelola Masyarakat Adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta di Sumatera Utara (Sumut). Kemudian terjadi pula terhadap warga masyarakat adat Desa Margo Semende Nasal di Bengkulu. Kebijakan mengakibatkan indikasi kuat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masyarakat hukum adat.


Demikian sebagian rangkuman hasil pelaksanaan diskusi “dengar keterangan umum” yang digelar di Medan Medan 10 Septembers 2014, yang diterima MartabeSumut, Kamis (11/9/2014) melalui Seksi Dokumentasi dan Publikasi Panitia Lokal Nasional Inkuiri wilayah Sumatera Tongam Panggabean. Menurut Tongam, “dengar keterangan umum” menyimpulkan bahwa para pihak (pemangku Hak dan pemangku Kewajiban) mungkin sekali saling bertemu dalam satu forum. Metode inti dari Inkuiri Nasional yang dipakai melibatkan para saksi, saksi korban, saksi ahli dan para pemangku kewajiban yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam acara, secara khusus dibahas pelanggaran hak masyarakat hukum adat dengan perspektif Gender.


Dijelaskannya, setelah melaksanakan dengar keterangan umum di wilayah Sulawesi beberapa waktu lalu, tim Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan kembali menggelar dengar keterangan umum di Medan wilayah Sumatera. Berlangsung selama 3 hari sejak 10-12 September 2014 dengan mengambil tempat di Aula Kanwil Hukum dan HAM Sumatera Utara. Inkuiri Nasional Komnas HAM akan menggelar 2 kasus masyarakat hukum adat. “Pada sesi pagi hari digelar dengar keterangan umum untuk kasus masyarakat adat  Desa Pandumaan dan Desa Sipatuhuta di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Kemudian pada sesi siang hari, masyarakat hukum adat Margo Semende Nasal Dusun Banding Agung, Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu,” kata Tongam.

Kasus Lahan Adat Warga Desa Pandumaandan Desa Sipituhuta

Terkait dengan kasus masyarakat hukum adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, katanya, Inkuiri Nasional telah mengundang para pihak yang terkait untuk dimintai keterangan. Para pihak yang telah diundang selain pihak korban masyarakat hukum adat Desa Pandumaan dan Desa Sipatuhuta, Inkuiri Nasional juga mengundang pihak terkait lainnya yaitu Kepala Dinas Kehutanan dan Kabid Pengusahaan Hutan Kabupaten Humbang Hasundutan, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Kepala Kepolisian Resor Humbang Hasundutan, Menteri Kehutanan, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Bupati Humbang Hasundutan, PT. Toba Pulp Lestari. “Kasus masyarakat hukum adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta berawal dari terbitnya hak konsesi kepada PT Inti Indorayon Utama yang berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari Tbk. Sehingga berdampak hilangnya keterhubungan masyarakat Adat dengan tombak haminjon. Hilangnya aset mereka (hutan haminjon) dimana hutan ini sebagai sumber kehidupan utama warga Desa Sipituhuta dan Pandumaan serta merasakan kekerasan aparat kepolisian akibat perjuangan mereka mempertahankan wilayah adatnya,” beber Tongam.


Sementara itu, lanjutnya, kaum perempuan dan anak menjadi korban ketika aksi demonstrasi mempertahankan wilayah adat maupun dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Potensi terjadinya pengangguran dan menjadi buruh di lahan mereka sendiri ssangat rentan akibat konsesi PT. TPL, potensi terjadinga keberulangan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, utamanya pada perempuan dan anak, potensi kehilangan produk unggulan (kemenyan) bagi Kabupaten Humbang Hasundutan, masyarakat dan banyak pihak kesulitan mencari kemenyan, khususnya pihak-pihak yang sering menggunakan kemenyan sebagai bahan upacara (ritual) adat dan keagamaan. “Diduga telah terjadi pelanggaran hak atas hak akses terhadap budaya, hak untuk memanfaatkan kekayaam dan sumber-sumber alam, hak atas pemulihan (Redress) yang adil untuk sumber penghidupan dan pembangunan yang dirampas, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang secara  tradisional mereka miliki, kuasai, atau mereka gunakan atau warisi, hak untuk mendapat akses kepada keputusan yang cepat melalui cara-cara adil untuk menyelesaikan konflik dan perselisihan dengan Negara hingga dengan pihak lain, perampasan tanah kelola Masyarakat Adat melalui kebijakan Negara,” singkapnya.

Kasus Tanah Adat Margo Semende Nasal Bengkulu


Sedangkan kasus Masyarakat Adat Desa Margo Semende Nasal Bengkulu, terungka kesimpulan tentang akar masalah konflik pertanahan antara Masyarakat Adat Margo Semende Nasal dengan Balai Besar Taman Nsional Bukit Barisan Selatan menyangkut konflik perebutan lahan. Akar masalah terjadinya konflik tersebut dikarenakan terbitnya sejumlah peraturan dari tahun 1082 – 2007 terkait penetapan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan secara sepihak (penetapan kawasan taman nasional bukit barisan selatan dilakukan di atas meja tanpa benar-benar melibatkan mayarakat untuk mengambil keputusan dan memperhatikan realitas sosial masyarakat). 
Pemberian label “perambah hutan” oleh Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kepolisian Resor Kaur dan Pemerintah Kabupaten Kaur. “Disimpulkan dalam pertemuan, konflik menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan mulai dari intimidasi atau ancaman, pembakaran rumah dan lahan pertanian, penangkapan secara paksa bahkan ada yang menerima vonis hukuman penjara. Masyarakat Adat Margo Semende Nasal terancam kehilangan tanah adatnya, kehilangan wilayah pemukiman, kehilangan tanah pertanian serta potensi hilangnya budaya Adat-istiadat yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Margo Semende Nasal,” timpal Tongam.


Padasisi lain, dugaan telah terjadi pelanggaran hak atas: hak untuk mendapatkan perlindungan reputasi karena dituduh sebagai perambah hutan, hak atas persamaan di depan hukum, hak sebagai subjek hukum, hak atas keamanan dan integritas pribadi, hak untuk mendapatkan perlindungan reputasi, hak untuk menikmati kondisi hidup memadai terutama yang berhubungan dengan perumahan, hak atas kepemilikan, hak untuk rasa aman, hak atas perlindungan oleh Negara dari kekerasan dan kerusakan tubuh, baik yang dilakukan aparat Pemerintah maupun suatu kelompok atau lembaga. Terkait dengan kasus masyarakat hukum adat Margo Semende Nasal, forum dengar keterangan umum disebut Tongam menuntun Inkuiri Nasional untuk mengundang para pihak yang terkait untuk dimintai keterangan. “Selain pihak korban masyarakat hukum adat Margo Semende Nasal, Inkuiri Nasional juga mengundang pihak terkait lain. Misalnya Kepala  Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Bupati Kaur, DPRD Kaur, Kapolres Kaur, Menteri Kehutanan dan Dirjen Perlindungan HUtan dan Konservasi Alam,” tutupnya. (MS/Rel/DEKSON)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here