www.MartabeSumut.com, Medan
Bangsa Indonesia prihatin serta menyesalkan kejadian kekerasan berbau SARA yang berawal dari peristiwa pembakaran Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Desa Danguren, Kabupaten Aceh Singkil, Selasa (13/10/2015) sekira pukul 11.00 WIB. Oleh sebab itu, negara harus menghentikan pengekangan hak warga negara beribadah dengan dalih izin. Kemudian mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Forum Kerukunan Umat Beragama/Pendirian Rumah Ibadah.
Permintaan tersebut disampaikan Direktur Program Lembaga Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) Manambus Pasaribu, SH, MH, melalui keterangan Pers yang diterima www.MartabeSumut.com, Kamis siang (15/10/2015). Sebagai lembaga yang konsern issu penegakan hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi, kata Manambus, kekerasan di Singkil telah mengakibatkan 1 orang meninggal dunia, 4 luka-luka dan ribuan orang mengungsi lantaran merasa tidak aman serta diliputi rasa takut. “Fakta kekerasan di Aceh Singkil merupakan suatu keadaan yang memilukan hati dan membuktikan belum adanya jaminan utuh negara atas kepastian keamanan/perlindungan dari praktik intoleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal secara normatif negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28 F ayat (1) dan (2) bahkan Pasal 29 ayat (2). Jaminan yang sama juga telah tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM,” tegasnya.
Lima Tuntutan
Dengan realita miris sulitnya hak menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing di negara Indonesia, lanjut Manambus, pihaknya di BAKUMSU pun mengeluarkan 5 sikap sekaligus tuntutan untuk diperhatikan pemerintah. Pertama, pemerintah mengemban tanggungjawab konstitusional melindungi hak beragama setiap warga negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 F ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (2). Kedua, pemerintah melindungi hak asasi para korban dengan mengambil tindakan sebagai pemangku kewajiban UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Ketiga, mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama maupun Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Keempat, aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus kekerasan Intolerasni di Aceh Sungkil sesuai ketentuan hukum berlaku. Kelima, pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak-hak korban Intolerasi. “Negara wajib hadir menjamin penegakan hak beribadah warga negara dan HAM untuk Indonesia yang damai dengan tetap menjunjung nilai-nilai toleransi,” ingat Manambus Pasaribu. (MS/DEKS)