Hentikan pembusukan budaya! Tiga kata awal yang tergores saat pemerintah berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam waktu dekat. Kenapa saya sebut pembusukan budaya? Tidak lain karena tradisi birokrasi mayoritas pemerintah yang suka pola-pola praktis menendang masalah alias lari dari tanggungjawab. Padahal penyelesaian masalah merupakan tugasnya namun rakyat yang kerap ditumbalkan menghadapi.
Pembusukan budaya mengatasnamakan rakyat/konsumen memang jamak terlihat pada hampir semua institusi pemerintahan pusat, daerah, badan usaha negara/daerah hingga perusahaan-perusahaan yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Contoh-contoh kasus bisa kita bongkar sedikit ke permukaan. Sebut saja perusahaan publik yang mengurusi air dan listrik. Kalkulasi pengelola dengan sangat mudah membayangkan profit dari konsumen yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan. Bila nominal Rp. 100 saja diputuskan naik maka ibarat menjual tandan buah sawit segar setiap Kilogram, akhirnya nominal Rp. 100 itu berdampak pada keuntungan besar. Ilustrasi itu sama persis dengan ‘penyakit’ tahunan pemerintah terkait pencabutan/pengurangan subsidi BBM. Siasatnya pun ‘hantam kromo’ dengan menganggap masalah pelik itu serupa seperti persoalan klasik menjaga kebersihan lingkungan (sampah) yang memerlukan partisipasi rakyat. Tak heran, trik menggandeng issu ‘aneh-aneh’ demi datangnya pendapatan signifikan plus tuntasnya masalah keuangan yang jebol-jebol akibat budaya busuk perampokan internal, menjadi sangat massif dipropagandakan terus kepada konsumen/masyarakat. Disinilah model pembusukan budaya berlangsung senyap dan sistematis. Penguasa atau pemilik otoritas bisnis publik cenderung memainkan strategi kepura-puraan dengan jargon-jargon ‘manis di bibir’. Mulai dari kenaikan harga untuk meningkatkan pelayanan, kenaikan harga demi membeli mesin-mesin baru, kenaikan harga sudah lama tidak dilakukan, rakyat yang mau sejahtera tidak boleh disubsidi, subsidi memanjakan mental kemandirian hingga segoni dalih sepihak lainnya yang bermuara pada 2 cara pintas penyelesaian bertarget ganda: menahan uang keluar dari kas negara/perusahaan sekaligus meraup cepat anggaran ‘bebas’ dari objek penderita (konsumen/rakyat). Celakanya, akar persoalan yang umumnya bersumber dari masalah internal dan seharusnya disikapi sesuai tugas, fungsi maupun tanggungjawab, justru meghadirkan skenario problem solving pembodohan publik.
Dalih Pencabutan Subsidi BBM demi si Miskin
Konsepsi pembusukan budaya yang diuraikan di atas bisa dihubungkan dengan pencabutan/pengurangan subsidi BBM yang hampir tiap tahun mulai kental dilakukan pemerintah era kepemimpinan Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tingkat inflasi langsung tidak terbendung sementara fluktuasi harga barang dan bahan pokok rakyat merayap liar pascakenaikan BBM. Dan seperti biasa, pemerintahan yang berkuasa dengan entengnya memunculkan segudang dalih demi menjustivikasi berbagai kebijakan yang terkesan tidak masuk akal. Simak saja beberapa dalil-dalil sesaat yang bertujuan membenarkan kebijakan pencabutan/pengurangan subsidi BBM. Bila sejak 3 bulan lalu hingga Juni 2013 ini propaganda pemerintah menaikkan harga BBM disebut-sebut demi kesejahteraan hidup si miskin, jelas-jelas itu statemen ngawur dan argumentasinya masih perlu diperdebatkan lagi secara objektif. Kalau kemudian subsidi BBM sekira Rp. 300 Triliun/tahun dari cost APBN dianggap salah sasaran karena jatuh kepada orang-orang kaya yang punya mobil, barangkali jawaban untuk tiori murahan ini pun bukanlah sesuatu yang terlalu pelik dirumuskan. Dan lebih lucunya, Presiden SBY mengatakan pengurangan subsidi BBM bertujuan untuk menjaga cadangan fiskal negara agar APBN tidak jebol alias defisit anggaran. Belum lagi berbagai propaganda yang meninabobokkan berjudul: mari kita selamatkan uang rakyat atau subsidi tepat sasaran untuk kesejahteraan bersama.
Kebijakan pemerintah mencabut atau mengurangi subsidi BBM dengan alasan kesejahteraan hidup si miskin adalah salah satu wujud kebijakan bernuansa pembusukan budaya. Mencerminkan ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan urusan ‘uang rumah tangga’, untuk selanjutnya bersikap praktis menendang masalah ke pundak rakyat. Kalau Anda tidak percaya, mari kita bedah dan cermati satu persatu propaganda yang gencar disosialisasikan ke permukaan. Pertama, pemerintah mencabut/mengurangi subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM disebut-sebut bakal meningkatkan kesejahteraan hidup si miskin. Saya menggarisbawahi, ukuran meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak bermakna mencabut subsidi negara untuk kepentingan vital publik semisal BBM. Pencabutan subsidi BBM sama sekali tidak berkorelasi terhadap kesejahteraan si miskin kendati akan ada program bagi-bagi uang dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT/BLSM). Dalih kesejahteraan si miskin adalah alasan ampuh bersifat menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingan pemerintah menjaga tabungan di kas APBN sekira Rp. 300 Triliun. Kalimat mensejahterakan rakyat miskin didramatisir sedemikian rupa ibarat barang langka yang bakal sulit dicari sehingga pencabutan subsidi yang dibutuhkan publik menjadi satu kepatutan. Tapi mau bilang apa lagi. Mental aparat yang terlanjur gemar mempertahankan pembusukan budaya terkesan bingung mencari program kesejahteraan sederhana semisal persamaan hak memperoleh pendidikan, persamaan hak memperoleh pekerjaan, persamaan hak untuk sehat dan persamaan menikmati fasilitas umum. Aparatur negara lebih mudah melahirkan program pencurian uang rakyat dan pengadaan proyek fiktif ketimbang mengalokasikan dana perbaikan sarana kesejahteraan umum. Logikanya: di negeri ini sepertinya lebih susah mendirikan rumah ibadah atau sekolah daripada mengaminkan proyek pusat perbelanjaan modern dan pembangunan kawasan hiburan.
Kedua, selama ini subsidi BBM sekira Rp. 300 Triliun/tahun dari cost APBN dianggap salah sasaran karena jatuh kepada orang-orang kaya yang punya mobil. Menjawab argumentasi itu mari kita pakai acuan dasar hidup bernegara melalui UUD 1945 BAB XIV tentang kesejahteraan sosial Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber segala tertib hukum bagi rakyat/bangsa Indonesia tidak mengenal kata orang miskin dan orang kaya melainkan kesejahteraan sosial. Arti kesejahteraan sosial sudah sangat jelas melingkupi seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Saya mau menggarisbawahi, BBM merupakan salah satu sumber kekayaan alam Indonesia yang berhak dinikmati oleh semua lapisan rakyat. Oleh karenanya, menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah mensejahterakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia dengan kekayaan alam yang ada seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Itu merupakan amanah yang harus dijalankan negara melalui tangan-tangan penguasa yang dipercaya memimpin. Semua masyarakat berhak atas subsidi tanpa terkecuali apakah faktanya sebagian rakyat sudah kaya atau masih ada yang hidup dalam garis kemiskinan. Dan ingat, orang-orang yang memiliki mobil juga belum tentu masuk kategori kaya. Sebab bisa saja mereka cuma mengkredit mobil dan setiap bulannya menggunakan jasa mobil untuk bersusah payah mencari nafkah dan mencicil angsuran. Saya ingin mengatakan, subsidi apapun namanya tidak bisa dikategorikan salah sasaran apalagi sudah menyangkut kepentingan lebih luas soal kemaslahatan warga negara serta stabilitas umum. Realitanya kini, rakyat menolak kebijakan sesaat yang terindikasi kuat berorientasi sekadar mengamankan penguasa yang gagal menstabilkan cadangan keuangan negara yang bolong-bolong akibat tangan-tangan aparat/pejabat korup ! Subsidi itu bersifat universal dan semua lapisan masyarakat berhak menikmati tanpa membeda-bedakan status sosialnya. Dalih si kaya dan si miskin merupakan dikotomi persepsi keliru yang sengaja dikembangkan untuk memuluskan kebijakan pemerintah. Seharusnya pemerintah pusat bersama DPR RI merumuskan kebijakan meningkatkan alokasi dana subsidi tanpa merengek-rengek mengeluhkan keamanan cadangan fiskal APBN. Sekali lagi, itulah tugas negara dan bukan beban fikiran rakyat. Jadi hentikanlah pembusukan budaya kepemimpinan yang kerap menendang masalah seenaknya kepada rakyat ! Cukuplah sudah rakyat di Republik ini dikenakan pajak seumur hidup untuk membayar mahal gaji-gaji pemerintah dan anggota DPR RI berikut fasilitas mewah maupun wah yang diterima saat menjabat.
Ketiga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa waktu lalu mengatakan, pengurangan subsidi BBM dimaksudkan untuk menjaga cadangan fiskal negara agar APBN tidak jebol atau kalau memakai ‘bahasa sulitnya’ defisit anggaran. Di atas telah saya uraikan bahwa propaganda itu cukup lucu sehingga membuat saya tersenyum-senyum. Sebab kalau saja hati nurani kita masih mau jujur, kata-kata seperti; pengurangan subsidi, pencabutan subsidi, stabilitas cadangan fiskal, APBN jebol, defisit anggaran maupun subsidi yang tidak tepat sasaran, menjadi teramat rancu/sulit dimengerti mayoritas rakyat berjumlah sekira 250 juta jiwa. Namun belakangan malah terus menerus dicekoki pemerintah dalam keterbatasan pemikiran masyarakat. Saya menggarisbawahi, pemerintah harus sadar kalau rakyat tidak paham mengartikulasikan bahasa-bahasa sulit semisal cadangan fiskal, APBN jebol, pencabutan subsidi hingga defisit anggaran. Rakyat cuma tahu kalau pemerintahlah yang mempunyai tugas dan tanggungjawab menangani masalah keuangan negara tanpa harus membuat susah warga negara. Rakyat hanya mengerti bagaimana harga kebutuhan beras, minyak atau bahan pokok lain bisa tetap stabil beredar di pasaran. Rakyat juga sangat mahfum kalau korupsi dan perampokan uang negara di pusat maupun daerah-daerah bisa melebihi angka Rp. 300 Triliun/tahun sehingga menjadi tugas negara mengembalikan uang-uang itu dengan cara apapun, termasuk memiskinkan koruptor. Rakyat pun sangat sadar telah membayar pajak dari hampir semua sektor kehidupan, yang lagi-lagi diyakini menjadi masukan bagi pundi-pundi negara. Tapi malangnya, hingga kini, rakyat Indonesia sepertinya dianggap bodoh terus atau dinilai tidak tahu kalau program-program pengumpulan uang di kas negara dan strategi menjaga keluar masuknya uang secara benar/bertanggungjawab, itu merupakan tugas/kewajiban pemerintah dan bukan beban yang harus ikut difikirkan warga negara. Artinya, negara (rakyat) membayar semua jajaran pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas tersebut dan bukan malah rakyat yang masih lapar dilibatkan memikirkan keutuhan cadangan fiskal. Sederhana sekali fikiran sang rakyat tapi si pejabat kerap mempersulitnya ! Andai saja kita mau lebih ekstrim, maka sebenarnya hati rakyat berontak tatkala beban menjaga cadangan fiskal negara diarahkan kepada masyarakat yang masih sulit mencari makan dan tidak pernah menerima gaji/fasilitas mewah pemerintah. Apa masih belum cukup pajak yang diberi rakyat selama ini ? Kenapa tugas dan tanggungjawab pemerintah dengan mudahnya ditendang ke pundak rakyat yang tidak pernah menikmati manisnya gaji besar maupun fasilitas-fasilitas wah sang penguasa? Kebijakan pengurangan atau pencabutan subsidi BBM yang nyaman dipraktikkan pemerintah setiap tahun teramat perlu diluruskan agar jangan sampai ada yang beropini kalau dukungan untuk pencabutan subsidi BBM berhubungan dengan rasa nasionalisme atau partisipasi rakyat semisal menjaga kebersihan lingkungan. Patut diketahui, masalah pemborosan uang negara di 33 kabupaten/kota di Indonesia juga secara tegas pernah dilontarkan Mendagri Gamawan Fauzi dalam satu acara di Medan, (9/7/2012). Mendagri menyatakan, ada fakta miris terkait 50% lebih dana dari APBD daerah-daerah di Indonesia dialokasikan untuk belanja aparatur dan bukan kepentingan publik. “Temuan kami di Kemendagri itu 50% APBD dialokasikan untuk belanja aparatur. Saya rasa sangat aneh sekali bila APBD diprioritaskan kepada aparat dan bukan untuk masyarakat. Sebab dari 230 juta rakyat Indonesia, cuma ada sekira 4,5 juta pegawai/aparat atau 2,5% – 3 % saja rasio jumlahnya. Logikanya, 3 orang PNS melayani 100 warga,” ungkap Mendagri, kala itu. Fakta lain bisa dicermati dari berbagai mark-up proyek, koruptor yang merajalela, belanja pelesiran/perjalanan dinas pemerintah/anggota DPR RI dan berbagai proyek tak jelas lain yang merugikan keuangan negara. Semua contoh di atas kami garisbawahi pantas dijadikan alternatif solusi penting untuk menjaga stabilitas moneter ketimbang mencabut subsidi yang masih diperlukan rakyat. Bagi saya, propaganda menjaga cadangan fiskal negara adalah bukti kalau disaat-saat enak pemerintah tidak peduli namun ketika kebingungan justru melempar ‘bola panas’ kepada rakyat. Sebab bak masalah di rumahtangga sendiri kita tiba-tiba menyuruh tetangga datang menyelesaikan persoalan yang tidak dipahaminya lalu membebankan cara penyelesaian. Untuk itu, Pemerintah perlu berjiwa sportif menghentikan pola-pola feodalis pembusukan budaya kepemimpinan, mencari akar persoalan penyebab cadangan fiskal negara tidak stabil dan bagaimana strategi menormalkannya. Bukan malah galau sehingga melepaskan keputusan praktis bernuansa sesat !
Keempat, mari kita selamatkan uang rakyat atau subsidi tepat sasaran untuk kesejahteraan bersama. Kali ini saya sinis menanggapinya. Menyelamatkan uang rakyat bukan dengan mencabut subsidi yang masih dibutuhkan publik bosss..! Tapi membenahi sistem administrasi keuangan negara/daerah yang kuat dan penegakan hukum yang keras terhadap pencuri-pencuri uang negara hingga pengawalan pintu-pintu pemborosan. Saya menggarisbawahi, pencabutan/pengurangan subsidi rentan menjadi sarana untuk menciptakan korupsi-korupsi model baru bertameng BLT/BLSM atau proyek-proyek ‘aneh’ lain. Kita umpamakan saja dana BLT/BLSM yang dikucurkan nanti mencapai Rp. 100 Triliun. Maka sisa uang bebas di kantong APBN sebesar Rp. 200 Triliun besar kemungkinan akan dikondisikan pemerintah sesuka hati demi kepentingan tersembunyi. Jadi tidak ada uang rakyat yang diselamatkan apalagi bicara tentang kesejahteraan bersama. Melainkan bakal dirampok oknum-oknum pejabat/aparat bermental korup dengan modus penciptaan program belanja aparatur berbiaya fantastis seperti dikatakan Mendagri Gamawan Fauzi. Akhirnya, semenjak dini, saya mau mohon maaf bila garis bawah bermuatan skeptis ini semata-mata berorientasi mengingatkan pemerintah dan memberi kontribusi pemikiran untuk penghentian pembusukan budaya dalam sistem pemerintahan Indonesia. Kita jangan sampai lupa bahwa di era kekinian sumber hukum Negara bernama Pembukaan UUD 1945, Pancasila dan UUD 1945 hampir-hampir tidak berjalan benar lagi sebagaimana mestinya. Padahal ke-3 konstitusi tersebut secara tegas mengamanahkan serta memerintahkan pemerintah melakukan pencapaian tujuan Negara yaitu masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Hentikanlah model pembusukan budaya birokrasi korup dan lakukanlah tugas-tugas pengabdian dengan penuh tanggungjawab. Niscaya rakyat pasti tahu dan bakal siap memberi dukungan nyawa sekalipun bila diperlukan. Tapi jangan dong saat enak di sana lalu saat sakit baru ke sini? Pemerintah Indonesia di penjuru Tanah Air patut mulai belajar membangun sikap amanah, pengayoman serta serius melahirkan kebijakan berdimensi kesejahteraan yang tidak bernuansa pembodohan. Bukan apa-apa, sejarah kita mencatat, fakta mensejahterakan rakyat pernah memposisikan Kerajaan Majapahit mampu menjaga persatuan dan kesatuan rakyatnya kendati bernaung dalam banyak wilayah terpisah. Majapahit tidak pernah terdengar terpecah dalam kesatuan-kesatuan ‘sesat’ disebabkan pemimpinnya peduli terhadap berbagai masalah maupun persoalan kesejahteraan umum. Rakyat yang mendapat persamaan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan, selanjutnya merajut tekad bulat untuk tunduk pada persatuan Majapahit. Dan sejarah mencatat, Majapahit bisa bertahan sampai usia 324 tahun. Indonesia Raya kita ? Wallahualam, 17 Agustus 2013 baru menuju 68 tahun. Wilayah kekuasaan sih memang sama-sama banyak terpisah namun Majapahit tidak pernah kenal tradisi pembusukan budaya, pencabutan subsidi BBM berdalih stabilitas cadangan fiskal apalagi menendang masalah ke pundak rakyat.