Era Jokowi-JK Hukum Tajam ke Siapa Saja, Berjalan dengan Kaca Mata Kuda

Bagikan Berita :

www.MartabeSumut.com, Medan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRDSU) Fanotona Waruwu mengapresiasi kinerja pemerintahan Jokowi-JK yang memakai konsep “kaca mata kuda” dalam penegakan hukum kurun memimpin hampir 5 tahun. Menurut Fanotona, Jokowi telah membuktikan tidak ada kawan dan lawan tatkala seseorang berurusan dengan pelanggaran hukum. 

Kepada www.MartabeSumut.com, Jumat siang (22/3/2019) di gedung Dewan Jalan Imam Bonjol Medan, Fanotona mencontohkan, kasus yang menjerat mantan Ketua DPP Golkar Setia Novanto beberapa tahun silam, adalah wujud nyata Presiden Jokowi tidak intervensi walau sesama partai koalisi. Hal serupa dibuktikan Jokowi ketika KPK kembali menangkap Ketua PPP Romahurmuzi alias Romi atas dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama. “Pak Jokowi telah mewujudkan penegakan hukum dengan kaca mata kuda. Tidak lihat kiri, kanan dan belakang namun lurus kedepan. Equality before the law dilaksanakan pemerintahan beliau. Semua sama di depan hukum,” cetus wakil rakyat membidangi hukum/pemerintahan ini. 

Oleh sebab itu, timpal Fanotona lagi, beragam kabar fitnah, hoax bahkan hate speech (ujaran kebencian) yang dialamatkan gencar terhadap Jokowi akhir-akhir ini, semata-mata bertujuan negatif bermotif kepentingan tersembunyi. Politisi Partai Hanura ini pun menyarankan polisi bertindak tegas terhadap para pelaku kriminal. “Hoax, fitnah dan hate speech terlalu berbahaya bila dibiarkan. Bisa menghancurkan sendi-sendi persatuan rakyat dan keutuhan NKRI/Pancasila,” terang Wakil rakyat asal Dapil Kepulauan Nias tersebut, sembari menilai, sangat ideal Presiden Jokowi terpilih kembali 2019-2024 agar bisa melanjutkan tugas-tugas yang masih tersisa.  

Indonesia Negara Hukum

Hal senada dilontarkan pengamat sosial politik asal Kota Medan, Drs Thomson Hutasoit. Bagi dia, Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Sesuai penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, seluruh rakyat negeri telah memahami ketegasan sikap politik Jokowi mewujud-nyatakan equality before the law berdasar perintah Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945. “Indonesia negara hukum sesuai amanah konstitusi. Selama memimpin, Pak Jokowi tak pernah mengIntervensi proses hukum. Jadi pameo “hukum tajam kebawah, tumpul keatas” atau “hukum tebang pilih”, jelas terbantahkan. Lihat saja fakta proses hukum mantan Ketua DPR RI Setia Novanto dan Ketua PPP Romahurmuzi,” ungkap Hutasoit kepada www.MartabeSumut.com, Minggu sore (24/3/2019) via telepon.

Sekalipun Negara Republik Indonesia tidak menganut Trias Politica murni pemisahan kekuasaan (separation of power), lanjut Hutasoit lagi, bukan berarti pilar-pilar kekuasaan bisa saling mengintervensi satu sama lain. Sistem pembagian kekuasaan (deviation of power) yang dianut Indonesia disebutnya sudah mempertegas tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) lembaga kekuasaan. Makanya, masing-masing lembaga tidak boleh saling intervensi satu sama lain. “Negara hukum harus menempatkan “hukum jadi panglima”. Bukan lantaran motif ekonomi apalagi menjadikan hukum lumpuh dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan,” ucapnya. Hutasoit percaya, kekeliruan besar dan sesat fikir namanya bila ada pemangku kekuasaan memberi perlakuan istimewa dan memposisikan pihak tertentu “kebal hukum”. Siapapun melakukan pelanggaran hukum, Hutasoit memastikan harus bertanggungjawab atas pelanggarannya di depan hukum. “Sehingga berbagai tuduhan, fitnah dan hoax yang dilancarkan lawan politik menyerang Jokowi dengan sebutan kriminalisasi atau tebang pilih, saya rasa cuma bermaksud politis. Bahkan Menteri Sosial RI Idrus Marham dibiarkan Jokowi diseret KPK ke meja hukum,” singkapnya. Hutasoit meyakini, hingga kini Jokowi tak pernah menggunakan kekuasaan untuk memenjarakan lawan politik ataupun bertujuan melindungi/membebaskan kawan dan koalisi. Hal itu bisa ditelusuri dari rekam jejak digital sejak memegang tampuk kekuasaan pada berbagai level pemerintahan. “Rakyat harus bangkit dan bergerak. Kita “perang total” melawan ujaran kebencian, fitnah, hujatan, hasutan adu domba, provokasi, agitasi, hoax serta penyesatan politik kebohongan mengatasnamakan agama. Hukum wajib jadi “panglima” di NKRI,” tutup Hutasoit dengan nada tinggi. (MS/BUD)

Bagikan Berita :

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here