www.MartabeSumut.com, Palas
Bencana banjir yang kian intens di Kabupaten Padang Lawas (Palas) sejak beberapa waktu belakangan harus jadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Palas. Pasalnya, selain karena faktor alam, seperti tingginya curah hujan atau infrastruktur drainase dan pengamanan pantai sungai yang buruk, bencana banjir terjadi akibat rendahnya kepedulian Bupati, DPRD dan warga Palas melindungi lingkungan.
Penilaian tersebut dilontarkan Direktur Lingkar Studi Pembangunan Sumatera Utara (LSP Sumut) Ansor Harahap kepada www.MartabeSumut.com, Kamis (26/1/2017). Ansor menjelaskan, fakta miris di Palas setelah pemekaran adalah kegiatan masyarakat dan pengusaha yang cenderung eksploitatif terhadap alam. “Saya melihat pemekaran jadi kesempatan untuk beramai-ramai memanfaatkan segala potensi khususnya yang berhubungan dengan sumber daya alam. Seperti merambah hutan dan lahan tanpa pertimbangan efek lingkungan. Semua berorientasi ekonomi tapi lupa memikirkan keutuhan ekologi,” sesal Ansor. Dia mengungkapkan, semangat masyarakat Palas yang terus berbondong-bondong menanam sawit merupakan contoh konkret. Sebagian diantaranya melakukan konversi lahan dari aktivitas pertanian jadi kebun kelapa sawit. Bahkan banyak yang merambah hutan demi pembukaan kebun kelapa sawit. Kegiatan membahayakan itu disebut Ansor merajalela dan terjadi hampir di semua kecamatan. Tiidak terkecuali daerah-daerah sisa hamparan hutan di Palas semisal Kec. Sosopan, Batang Lubu Sutam dan Ulu Sosa. Ironisnya lagi, imbuh staf Ahli DPRD Sumut ini, Pemkab Palas justru terkesan membiarkan hasrat masyarakat mengalir deras memenuhi keinginan masing-masing. “Pemkab hampir tidak berbuat apa-apa untuk menindak pelaku perambahan atau memberi informasi. Pemkab Palas gagal memberikan pendidikan lingkungan terkait pengaruh buruk menanam sawit di lahan-lahan yang rawan bencana banjir/longsor,” terangnya, seraya mencontohkan, perilaku oknum-oknum pejabat Pemkab Palas bahkan Bupati terindikasi terlibat dalam perambahan hutan demi pembukaan perkebunan kelapa sawit. “Tidak cuma masyarakat yang dibiarkan merusak lingkungan. Perusahaan-perusahaan berorientasi komersial pun terus melenggang melakukan ekspansi dan eksploitasi,” timpal Ansor lagi.
Ekosistem di Palas Tak Normal
Ansor melanjutkan, bencana banjir yang belakangan terjadi di Sosa, mungkin tidak semata-mata karena curah hujan tinggi. Melainkan dilatarbelakangi ekosistem lingkungan yang tidak lagi normal pasca-lebih 80 persen lahan berubah jadi areal perkebunan sawit. Demikian juga di hulu sungai Sosa yang kondisi hutannya kian menipis. Tak heran, ungkap Ansor lebih jauh, tatkala curah hujan tinggi, maka sungai tak mampu menampung volume atau debit air sebab tidak ada lahan yang menyerap air hujan secara seimbang. Ditambah lagi infrastruktur yang buruk, penataan pemukiman tidak berjalan baik serta kebiasaan membuang sampah sembarangan. Secara lantang, Ansor menuding kepemimpinan Bupati Palas TSO minus visi kuat terhadap keutuhan lingkungan. “Mungkin karena dia bagian dari masalah itu. Sekalipun sering dikritik terkait masalah lingkungan, sepertinya dia tidak terganggu. Tidak merasa bertanggungjawab atas kapasitas sebagai bupati,” heran Ansor. Kedepan, Ansor mengingatkan Pemkab, DPRD dan warga Palas menunjukkan komitmen melindungi lingkungan. Para pengambil kebijakan dipastikannya paling bertanggungjawab dalam hal melindungi ekosistem lingkungan hidup. “Tolong tata kelola kelembagaan pemerintah dibuat lebih baik. Jalankan program-program pencegahan menyangkut infrastuktur maupun perlindungan hutan dan lahan. Kemudian berikan sosialisasi/pendidikan lingkungan atau pemberdayaan masyarakat,” tutup Ansor. (MS/DEKS)