Pada Kamis siang (20/3/2014) seorang Staf DPRD Sumut bertanya kepada saya. “Bang, dari 100 anggota Dewan kita sekarang di sini, siapa-siapa menurut Abang yang akan duduk lagi,” ujarnya. Saya tersentak, lalu menatapnya dengan senyum manis sembari memberi tanggapan: “Di hand phone-ku (HP) sekarang ada puluhan nama yang sudah kutuliskan tidak duduk lagi. Jadi bukan yang akan duduk”.
“Coba-coba aku lihat Bang,” kejarnya, sambil berusaha meraih HP. Tentu saja saya menolak sembari tertawa keras. Kemudian mengamati wajahnya dalam-dalam serta menjawab: “Gak bisa dong, gak etis. Yang boleh tahu aku dan Tuhan saja. Setelah Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 9 April 2014 barulah kita buka sama-sama ya”. Staf tersebut akhirnya mengerti dan menyatakan kesiapan membuka data-data itu kelak. Selanjutnya saya jelaskan kepadanya bahwa sejak 5 bulan lalu sampai sekarang, secara spontan ada saja 1 nama Calon Legislatif (Caleg) masuk nominasi tidak lolos yang tertuliskan tiap hari di draft box HP.
Hingga Garis Bawah ini dituliskan dan Anda baca saat ini, pesta demokrasi Pileg 9 April 2014 menyisakan waktu 16 hari lagi. Pengalaman empiris bersama seorang Staf DPRD Sumut di atas sebenarnya tidak sengaja terjadi namun akhirnya membuat saya sadar bahwa dasar kelahiran catatan khusus pribadi pada draft box HP itu pantas dibeberkan ke publik. Setidaknya dilandasi 2 essensi pemikiran strategis. Pertama, Pileg memiliki tujuan sakral untuk memilih wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Prov/Kab/Kota. Kedua, wakil rakyat punya 3 tugas pokok inti yang melekat dalam dirinya secara struktural maupun fungsional. Caleg pemula/wajah baru dan incumbent (wajah lama) wajib mengetahuinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas 5 tahun masa tugas : Controlling (pengawasan), Budgeting (penyusunan anggaran) dan Regulating (legislasi/pembuatan kebijakan, aturan dan UU). Nah, dari 2 essensi pemikiran di atas, timbul 1 pertanyaan retoris sederhana ke permukaan. Kenapa ribuan orang beramai-ramai merasa terpanggil “ngotot cari kerja” jadi wakil rakyat/legislator padahal sedikit sekali kursi yang tersedia ?
Kompetensi Ideal Seorang Wakil Rakyat
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya bentuk ideal figur wakil rakyat perlu dicermati lebih dekat. Sejauh ini, saya mengamati satu keanehan mendalam tatkala melihat sosok-sosok petinggi Partai Politik (Parpol) maupun figur legislator pusat/daerah didominasi orang-orang berlatar belakang bukan dari disiplin ilmu sosial politik plus nol pengalaman praktis organisatoris. Umumnya yang pernah duduk di lembaga legislatif dan yang berniat duduk saat ini berlatar belakang hukum, kedokteran, matematika, teknik, ekonomi, sastra, pendidikan/keguruan, ilmu agama, ilmu “hantu blau”, gelar yang dibuat-buat/dibeli menyusul setelah jadi wakil rakyat bahkan ada pula yang tidak punya latar belakang pendidikan apapun. Pertanyaan berikut, kenapa mereka tidak menerapkan basis keilmuannya ? Wallahualam..! Beberapa waktu lalu saya menanyakan keanehan ini kepada seoarang dosen Sosial Politik di salah satu kampus swasta di Medan. Menurut dia, minimnya figur wakil rakyat ideal nan kompeten dari disiplin ilmu sosial politik dan berbekal pengalam organisasi, semata-mata disebabkan kesulitan beradaptasi dengan realita pembusukan budaya para elite Parpol yang kebetulan didominasi kelompok ilmu eksakta, kelompok tanpa pendidikan apapun hingga kelompok yang mengandalkan harta. Petinggi Parpol yang demikian dinilai dosen tersebut “terbiasa” akrab “menghalalkan segala cara” atau bisa setiap saat menjadi “raja tega” sehingga tidak cocok berdampingan dengan kelompok disiplin ilmu sosial politik yang tergolong bermodalkan karakter idealis, kritis, realistis dan mengandalkan konsep-konsep ilmu politik yang pernah dipelajari di bangku pendidikan tinggi. Tak heran, kata dosen itu lagi, kalangan yang berbasis ilmu sosial politik “terpaksa” menyingkir, disingkirkan dan mungkin pula menjauhkan diri dari aktivitas politik kelompok ilmu eksakta, kelompok tanpa pendidikan apapun dan kelompok yang mengandalkan harta. Sebab semenjak dini, kematangan berpolitik praktis yang sehat dan benar, diyakini bersumber dari tiori ilmu politik dan bukan dari tiori ekonomi, teknik, kimia, matematika hingga berbagai disiplin ilmu lain yang sangat bertolakbelakang. “Kompetensi seorang wakil rakyat itu ya paling tidak bisa diukur dari disiplin ilmu dan latarbelakang pengalaman organisasi. Tapi sekarang siapa saja bisa. Preman pasar dan penjual bakso pun boleh. Dan ingat, tidak lebih hebat teknik berpolitik anggota DPR/pimpinan Parpol sekalipun dibanding struktural/fungsional PNS kita. Sebab kompetensi politik PNS apalagi yang pejabat karir sudah teruji berpuluh tahun lamanya dalam sistem internal yang terpadu,” terang dosen itu. Saya menggarisbawahi pertanyaan di atas, ribuan orang berlomba-lomba menjadi legislator tidak lain lantaran seleksi kompetensi figur wakil rakyat yang ideal sudah ambruk ditelan kerakusan manusia. Tidak lagi malu dengan kompetensi diri sepanjang punya koneksi dan setoran tunai. Tidak ingin terseleksi secara panggilan hati melainkan mengartikulasikan “wakil rakyat” sebagai majikan rakyat, gagah-gagahan dan terkesan kursi murahan. Tidak perlu lagi memahami agungnya 3 tugas pokok fungsi wakil rakyat namun sekadar mampu dihafalkan atau diucapkan. Saya mau mengatakan, ribuan orang “ngotot cari kerja” menjadi anggota DPR umumnya dilandasi faktor vested interest untuk : status pekerjaan, punya sebutan yang terhormat, memiliki gaji besar, mendapatkan banyak kemudahan/fasilitas-fasilitas negara, mudah mencari proyek dan gampang memanfaatkan peluang untuk merampok uang rakyat. Mungkin jadi hipotesis itu benar 99 persen dan bisa saja masih ada 1 persen yang serius atau berkompeten.
Banyak Caleg Terpanggil tapi Sedikit yang Terpilih
Banyak Caleg yang terpanggil tapi sedikit yang terpilih. Satu realita yang saya pastikan sudah terjadi dan bakal terbukti usai Pileg 2014. Fakta ini pula yang membuat saya berani menuliskan di draft box HP nama-nama yang tidak duduk. Bukan didasari kebencian, kekesalan atau sikap apriori. Tapi dikarenakan “menggugat” kiprah Parpol yang mengusung sosok-sosok Caleg wajah baru/pemula dan sang incumbent akan pemahaman sejati arti wakil rakyat serta 3 tugas penting yang bakal dipikul. Bukan apa-apa, mengacu Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dilansir KPU Pusat tahun 2013 lalu, jumlah pemilih di Indonesia mencapai 146 juta. Lalu DPT terakhir yang dilansir KPU pada bulan Februari 2014 mencapai 185.822.507 orang. Sedangkan data Kemendagri terdapat sebanyak 190 juta DPT. Untuk Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) Provinsi Sumut, yang dilakukan tahun 2013, menghasilkan jumlah 11.010.629 jiwa pemilih dari jumlah penduduk Sumut sebanyak 15.220.323 orang. Sementara DP4 Kota Medan diperoleh jumlah pemilih sebanyak 2.030.257 orang. Itu baru jumlah pemilih. Bagaimana pula jumlah Caleg yang umumnya “berteriak” merasa terpanggil ? Inilah fakta yang saya pastikan banyak terpanggil tapi akhirnya sedikit terpilih. Memasuki Pileg 2014, sebanyak 6.608 Caleg dipastikan memperebutkan 560 kursi DPR RI di Senayan pada 77 daerah pemilihan. Sedangkan untuk kursi DPRD Provinsi Sumut terdapat 1.178 orang Caleg bersaing memperebutkan 100 kursi.
Senator DPD RI
Pada sisi lain, Pemilu Indonesia ke-9 yang digelar tahun 2004, tidak hanya memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota saja. Rakyat juga berhak memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang merupakan lembaga perwakilan baru dan ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah/provinsi. Pada tahun itu pula untuk pertama kali sejarah mencatat pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung. Artinya, Pemilu Indonesia tidak lagi sebatas memilih anggota perwakilan rakyat di lembaga DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/kota plus DPD RI. Namun setelah amandemen keempat UUD 1945 dilakukan tahun 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden yang pada awalnya dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), akhirnya secara konstitusi resmi memerintahkan negara memberikan mandat kepada rakyat Indonesia memilih langsung. Terkait anggota senator DPD RI, total jumlah yang diambil sebanyak 136 orang berdasarkan representasi per provinsi 4 anggota x 34 provinsi yang ada di Indonesia. Anggota DPD RI memang dipilih melalui Pemilu dari setiap provinsi. Jumlah anggota DPD RI dari setiap provinsi sama (4 orang) dan total seluruh anggota DPD RI tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR RI. Anggota DPD RI bersidang sedikitnya 1 kali dalam 1 tahun. Kewenangan anggota DPD RI dapat mengajukan dan membahas RUU kepada atau bersama DPR RI. RUU tersebut harus berlingkup pada otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan/pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya ekonomi daerah. Kemudian senator DPD RI berkaitan pula dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD RI juga dapat memberi pertimbangan kepada DPR RI seputar RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta RUU yang berhubungan dengan masalah pajak, pendidikan dan agama. DPD RI dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sehubungan dengan hal-hal tertentu. Data KPU menyebutkan, memasuki Pileg 9 April 2014, tercatat sekira 1.260 orang yang mendaftar jadi anggota DPD dari seluruh provinsi di Indonesia. Untuk calon DPD RI asal Sumut yang ikut berkompetisi mencapai 24 orang. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan tahun 2009 sebanyak 38 calon. Mengacu aturan dan jumlah penduduk Sumut yang berada pada angka 15.220.323 orang, maka setiap calon anggota DPD RI asal Sumut harus memiliki dukungan KTP warga/pemilih paling sedikit 5.000 (lima ribu). Dukungan itu wajib tersebar sedikitnya 50 persen dari jumlah kabupaten/kota di provinsi. Logikanya, dengan selekesi ketat Pemilu serta segudang tugas besar yang saya uraikan di atas, pertanyaan skeptis justru kerap muncul di permukaan. Kenapa anggota DPD RI banyak santai, tidak bekerja, tidak mewakili daerah, tidak memperjuangkan masalah daerah, tidak punya koordinasi jelas dengan kepala daerah/legislator pusat asal daerah yang sama/legislator provinsi/legislator kab-kota dan cenderung cuma pelang nama ??? Kenapa pula senator DPD RI dituding lembaga “macan ompong” yang sebatas melengkapi simbol perwakilan daerah di parlemen pusat ??? Dan benarkah anggota DPD RI cuma makan gaji buta serta menghambur-hamburkan uang rakyat atas fasilitas “wah” yang diterima kelak ??? Wallahualam lagi jawabannya…!
Apa Motivasi Anda Terpanggil Jadi Caleg/DPD RI ?
Motivasi Caleg (termasuk calon DPD RI) banyak terpanggil menjadi wakil rakyat adalah sesuatu yang sah-sah saja menyeruak ke permukaan. Caleg berlatar belakang pendidikan aneh, tanpa pendidikan atau membeli gelar pendidikan sekalipun, merupakan keputusan yang tidak boleh dihalangi sepanjang memenuhi syarat. Caleg yang sebatas “cari kerja” atau berniat menumpuk harta, juga tidak mungkin ditentang oleh siapapun. Caleg memimpikan untuk disebut yang terhormat bahkan mengidamkan terima gaji besar walau kelak cuma duduk, diam dan dengar, jelas menjadi tanggungjawab masing-masing. Caleg “bermain mata” atau menyuap KPU untuk hasil perolehan suara, memang bisa dirasakan tapi teramat sulit dibuktikan. Dan seseorang menjadi Caleg karena semangat main proyek atau sekadar gagah-gagahan status sosial, bukan berarti pula harus dilarang apalagi dipersoalkan. Semua landasan motivasi menjadi Caleg itu hanya mereka yang tahu dan tidak ada satu hukum pun yang bisa melarang bahkan mampu membongkar kedok dibalik niat tersebut. Namun sekali lagi, saya pribadi dan rakyat Indonesia akan mencatat nama setiap orang yang baru pertama kali menjadi Caleg dan yang sudah pernah berkiprah kurun waktu tertentu. Kami berhak dan bertanggungjawab mencatat “rapor” motivasi Anda sebab sebelum terpilih atau bahkan sudah terpilih nanti, jauh-jauh hari Anda telah lebih dulu ikut mencicipi uang negara alias uang rakyat Indonesia melalui proses Pileg 9 April 2014.
Bagi saya, Caleg pemula untuk DPRD Medan, DPRD Kab/Kota se-Sumut, DPRD Sumut, DPR RI, DPD RI (khususnya Daerah Pemilihan di Sumut) hingga Caleg yang terpencar di penjuru Tanah Air, sebaiknya menyadari betul panggilan yang sudah diketahui publik. Namun tetap saja cuma Anda sendiri yang tahu kompetensi, latar belakang pendidikan/hidup serta motivasi yang sesungguhnya. Saya hanya mau menggarisbawahi, bila Anda memang terpanggil menjadi Caleg, janganlah memulai niat tersebut dengan politik uang dan suap sana-sini. Tapi awali langkah politik melalui perilaku sportif berjuang sebagai wakil rakyat dan bukan merasa sudah jadi majikan rakyat. Kemudian belajarlah memahami 3 tugas inti supaya bisa bekerja dengan benar kalau terpilih nanti.
Sementara Caleg yang incumbent untuk DPRD Medan, DPRD kab/kota Sumut, DPRD Sumut, DPR RI, DPD RI (khusus Daerah Pemilihan di Sumut) hingga DPRD yang terpencar di penjuru Tanah Air, maka saya dan rakyat Indonesia sebenarnya telah menggarisbawahi rekam jejak Anda selaku legislator kurun waktu menjabat. Anda yang tahu apa kiprah Anda selama ini tapi kami juga melihat realita yang terjadi. Seandainya selama menjabat Anda berperilaku korup, suap sana-sini, berlagak majikan rakyat, kongkalikong bersama oknum KPU mencuri suara untuk bisa duduk lagi, atau memang benar-benar menunjukkan tabiat wakil rakyat, saya berani menyatakan bahwa itulah yang membuat saya/rakyat Indonesia spontan menuliskan nama Anda tidak lolos atau bakal lolos lagi dalam Pileg 9 April 2014. Bila selama menjabat Anda malas hadir ke gedung Dewan dan kerap mangkir dalam persidangan resmi, tentu saja menjadi “benang kusut” yang sulit menyusut. Ketika Anda cuma pintar duduk, diam, dengar dan dengkur dalam RDP/Paripurna, maka jelas Anda legislator yang tidak kompeten. Pada saat Anda menghindari aksi masyarakat yang mengadu/unjukrasa, berarti kesalahan besar telah terjadi dengan “gelar” wakil rakyat yang Anda sandang. Dan terakhir, manakala kurun waktu menjabat Anda bangga berjanji palsu, merendahkan orang lain, mudah bohong, jago bersilat lidah serta pernah membuat konstituen/orang-orang sekitar tertekan perasaan, niscaya doa orang-orang tersakiti bakal didengarkan Tuhan. Logikanya, dengan tidak bermaksud mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, saya sangat percaya, sikap spontan menuliskan nama Anda tidak duduk lagi sebagai wakil rakyat di draft box HP, adalah bukti sah keputusan serupa yang sebenarnya telah dilakukan seluruh rakyat Indonesia di dalam hati masing-masing pasca-Pileg 9 April 2014. Artinya, saat ini pun saya dan rakyat Indonesia telah mempunyai pilihan masing-masing Parpol dan Caleg. Anda boleh-boleh saja bersemangat merasa terpanggil menjadi Caleg pemula atau Caleg incumbent mendampingi ribuan Caleg yang ada sekarang. Tapi faktanya, dari ribuan yang terpanggil hanya sedikit yang terpilih. Dan fakta perilaku Anda selama ini pula yang telah memposisikan Anda tidak masuk dalam jumlah sedikit itu.
Akhirnya izinkan saya menyimpulkan garis bawah ini melalui 1 bait pantun : “Tak ada gading yang tak retak, tak ada pula manusia yang hidup sempurna. Jelang Pileg 2014 banyak Parpol dan Caleg sibuk bergerak, tapi jangan pilih yang suka berpura-pura”. Jadi sebelum Anda memilih Parpol dan Caleg pada 9 April 2014, tidak salah rasanya bila merefleksi sesaat kalimat bijak Charles de Gaulle, salah satu tokoh pembebasan Perancis masa PD II : “POLITISI tak pernah percaya dengan kata-katanya sendiri. Itulah sebabnya, mereka selalu sangat terkejut bila rakyat mempercayainya”. Selamat menyongsong pentas demokrasi rakyat Indonesia, Pileg 9 April 2014. Mari gunakan hak politik warga negara untuk memilih Parpol yang serius memperjuangkan kepetingan rakyat dan Caleg yang memang bermental wakil rakyat. Bukan Parpol pelang nama bertabur janji-janji palsu dan tidak pula Caleg berpura-pura wakil rakyat tapi sebenarnya pembohong dan penipu..!